Blok Offshore North West Java yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ merupakan blok pertama yang menggunakan kontrak gross split.

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut dua kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dengan skema cost recovery akan berubah menjadi gross split dalam waktu dekat. Perubahan skema kontrak tersebut sudah diajukan beberapa minggu lalu dan saat ini masuk tahap persiapan perubahan serta evaluasi oleh pemerintah.

“Ada dua blok yang berubah menjadi gross split, satu konvensional dan satu non-konvensional,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (20/12).

Menurut Arcandra, perubahan kedua skema kontrak menjadi gross split ditargetkan terealisasi pada minggu ketiga Januari 2019.

Perubahan skema kontrak menjadi gross split sebelumnya telah dilakukan ENI untuk Blok East Sepinggan yang didalamnya ada Lapangan Merakes, salah satu lapangan dengan potensi besar. Apalagi Merakes menjadi salah satu proyek yang dilakukan di wilayah laut dalam.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga penghujung 2018 sudah ada 32 blok migas yang menggunakan skema kontrak terbaru, gross split. Terbaru adalah Blok South Jambi B yang terminasi pada 2020 mendatang yang dikelola Hongkong Jindi, Co., Ltd.

Blok migas yang sudah mengunakan gross split terdiri dari 11 blok hasil lelang pada 2017 dan 2018, kemudian 20 blok terminasi atau habis masa kontrak dari 2018 sampai 2022. Serta satu amendemen kontrak blok migas. Total komitmen investasi dari ke 32 blok migas tersebut mencapai sekitar US$2,1 miliar atau setara Rp 31 triliun.

Gross split memang jadi salah satu andalan pemerintah dalam menekan cost recovery semakin tinggi. Skema gross split memiliki tiga kategori base split. Pertama, base split atau dasar patokan perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah, yakni untuk minyak base split adalah 57% pemerintah dan sisanya kontraktor. Untuk gas 52% pemerintah dan sisanya adalah bagian kontraktor.

Perbedaannya adalah dengan disediakannya paket insentif dalam bentuk penambahan split atau bagi hasil yang akan didapatkan kontraktor. Berdasarkan beberapa indikator yang menjadi kategori split berikutnya, yakni variabel split, di antaranya adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman resevoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, TKDN pada masa pengembangan lapangan dan tahapan produksi.

Selain 10 variabel tersebut ada juga mekanisme progressive split dengan indikator harga minyak, kapasitas produksi yang dicapai, serta tambahan split berdasarkan nilai keekonomian lapangan. Selain itu, ada tambahan split yang bisa diberikan Menteri ESDM (diskresi Menteri) berdasarkan pertimbangan keekonomian lapangan.(RI)