JAKARTA – PT Pertamina (Persero) dinilai tidak memiliki dasar atau fundamental kuat untuk melakukan aksi korporasi melepas saham le publik melalui mekanisme penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO), terutama jika dilakukan pada bisnis hulu migas yang saat ini dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai subholding hulu.

Ari Soemarno, praktisi migas dan mantan Direktur Utama Pertamina periode 2006-2009, mengungkapkan keinginan Pertamina untuk melakukan IPO pada bisnis hulu migasnya tidak akan mudah. Ini bermula dari posisi Pertamina sebagai kontraktor migas dari pemerintah untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi atas dasar kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC)

“Perlu disadari bahwa Pertamina hanya merupakan kontraktor migas dari pemerintah untuk kegiatan eksplorasi dan produksi (E&P) atas dasar kontrak bagi hasil (PSC). Jadi kedudukannya sama seperti perusahaan PSC lainnya di sini. Cadangan migas adalah milik pemerintah dan tidak dapat di sekuritasi oleh perusahaan,” kata Ari dalam diskusi virtual, Selasa malam (23/6).

Di sinilah,  kata Ari, letak perbedaan fundamental antara Pertamina dengan perusahaan migas nasional lain. “Seperti Petronas, Petrobas, Saudi Aramco dan lain-lain yang mana cadangan migas di negara masing-masing diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan dan dapat dibukukan sebagai asetnya,” ungkap Ari.

Selain itu, Pertamina mengelola lapangan-lapangan yang sudah mature dan berada pada posisi natural declining. Ini tentu akan berdampak pada minat pasar nantinya. “Dengan demikian apakah akan memiliki nilai pasar yang baik,” ujarnya.

Ari juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang melakukan restrukturisasi besar-besaran Pertamina. Dia menilai masih banyak hal belum jelas terkait dengan reformasi dan transformasi organisasi tersebut. “Disamping itu ada yang terlihat janggal, dimana tidak ada satupun di level direksi holding memiliki latar belakang akademis maupun pengalaman profesional di industri migas, baik di hulu (E&P), atau hilir (pengolahan, pemasaran, distribusi dan trading),” kata Ari.

Hingga kini Pertamina masih belum memutuskan subholding mana yang akan melantai bursa meskipun indikasi disiapkannya subholding hulu (Pertamina Hulu Energi/PHE) terlihat jelas untuk IPO cukup terlihat. Ini bisa dilihat dari seringnya manajemen menyinggung bisnis hulu dihubungkan dengan rencana IPO.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, sebelumnya mengatakan tidak ada aset negara yang diserahkan saat Pertamina IPO nanti. Dia mencontohkan IPO yang mungkin bisa dilakukan di bisnis hulu adalah dengan menawarkan hak pengelolaan blok migas kepada publik bukan menyerahkan asetnya ke pihak swasta.

“Yang diserahkan (IPO) adalah hak pengelolaan, jadi aset tetap dipegang pemerintah. Jadi wilayah kerja (WK) yang diserahkan ke Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah hak pengelolaan sesuai Production Sharing Contract (PSC),” kata Nicke.

Menurut Nicke, sebagai holding BUMN migas, Pertamina memiliki beberapa peran penting. Diantaranya adalah berperan untuk mengelola portofolio dan sinergi bisnis di seluruh grup holding, mempercepat pengembangan usaha baru, serta menjalankan program-program nasional.

Sedangkan perusahaan yang sudah ditetapkan sebagai subholding sesuai dengan keputusan Menteri BUMN berperan untuk mendorong operational excellence melalui pengembangan sekala dan sinergi dalam bisnisnya masing-masing, mempercepat pengembangan usaha dan kapabilitas di bisnis existing.

“Serta meningkatkan kemampuan dan fleksibilitas dalam kemitraan dan pendanaan,” kata Nicke.(RI)