Penulis menulis karya ilmiah ini demi menganalisis transisi energi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 dalam penggunaan bahan bakar nabati yang strategis, yang akan dikaji lebih lanjut dalam studi ini.
Indonesia telah mengambil langkah-
langkah berani untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan memitigasi emisi gas rumah kaca melalui inisiatif-inisiatif seperti program biodiesel B30 dan target ambisius untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Banyak fungsi bahan bakar nabati yang diuraikan dalam diskusi tersebut, termasuk perannya dalam menurunkan emisi, memastikan pasokan energi yang stabil, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan daerah pedesaan.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan kelayakan ekonomi, rintangan teknis dalam mengadopsi bahan bakar nabati yang lebih maju, dan masalah-masalah lingkungan yang berkaitan dengan produksi kelapa sawit merupakan beberapa kendala utama yang disoroti oleh penelitian ini.
Net Zero Emission (NZE) atau yang disebut sebagai Titik Nol Emisi menjadi sebuah program lingkungan global melalui awal penciptaannya dalam Paris Agreement pada tahun 2015. Tujuan utama dari Paris Agreement tertera pada pasal 2.1 sebagai tujuan tertinggi konvensi perubahan iklim. Penegasan persetujuan tersebut terdapat pada 2.1a secara spesifik bahwa negara-negara yang menyetujuinya harus menjaga kenaikan temperatur rata-rata global hingga 2 derajat celcius dibandingkan saat masa pra-industri dan menjaganya supaya tidak naik menjadi 1,5 derajat celcius.
Persetujuan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko maupun perubahan iklim yang dapat terjadi. Kondisi Net Zero Emission terjadi saat jumlah karbon yang dikeluarkan ke atmosfer tidak melebihi apa yang diserap oleh bumi (Ganta, M. G. W. Y., 2024). Konsep dari Net Zero Emission adalah ‘balance between anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases’ atau emisi yang dihasilkan manusia dengan penyerapan emisi rumah kaca yang tersedia menjadi seimbang.
Indonesia sebagai negara yang juga mengesahkan perjanjian Paris Agreement harus memiliki strategi pembangunan yang rendah emisi dalam jangka panjang sebagaimana yang dimaksud dalam Decision 1/CP21 paragraf 35 dan pasal 4.19, sehingga tanggapan yang diperoleh adalah pengajuan rencana rendah karbon ke UNFCCC yang disebut sebagai Long Term Strategy For Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR).
Dokumen ini berisikan pernyataan bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NTE) pada tahun 2060 atau lebih awal. Indonesia juga mengeluarkan NDC (Nationally Determined Contributed) atau komitmen yang dibuat melalui Paris Agreement dengan versi terbaru bahwa upaya penurunan emisi gas kaca hingga 41% pada 2030 (Zahira, N. P., & Fadillah, D. P., 2022).
Target tersebut dapat dicapai melalui transisi dari energi saat ini menuju energi yang lebih bersih dalam mencapai keseimbangan antara alam dan aktivitas manusia. Energi selalu dibutuhkan sebagai peran kunci, khususnya dalam ekspansi sosial-ekonomi di banyak negara berkembang seperti Indonesia. Wujud dari energi yang dapat mendukung pencapaian Net Zero Emission (NZE) adalah EBT (Energi Baru Terbarukan) atau renewable energy sebagai sumber energi yang berasal dari alam dan mampu memproduksi energi baru yang lebih tinggi daripada konsumsinya.
Indonesia memiliki sejumlah sumber energi, seperti dari sumber energi fosil yang berasal dari minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Emisi karbon yang dihasilkan melalui Energi Baru Terbarukan (EBT) jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar lainnya. Energi terbarukan tidak memerlukan pembakaran, sehingga emisi karbon dioksida bisa diminimalkan.
Biomassa menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menggantikan bahan bakar fosil maupun minyak bumi dengan Indonesia sebagai penghasil terbesarnya di kawasan ASEAN. Bentuk energi ini berasal dari bahan organik yang mengandung energi dan dapat dijadikan sebagai biofuel, biodiesel, dan biogas untuk menjalankan suatu alat ramah lingkungan, serta berkelanjutan (Bahri,S., & Ali, N. D., 2024).
Pemanfaatan biomassa masih sangat minim dan belum dioptimalkan dalam konversinya menjadi energi, baik itu secara lokal, regional, maupun internasional, padahal Indonesia memiliki lahan yang luas untuk melakukan produksi. Biomassa di Indonesia berasal dari berbagai sumber, seperti pertanian, pengolahan kayu, kotoran hewan, dan tanaman perkebunan.
Pencapaian Indonesia dalam menghasilkan biomassa per tahun adalah 155,4 juta ton atau setara dengan 46,8 GJ. Melalui Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional tentang penggunaan energi yang baru dan terbarukan (EBT), serta upaya mengurangi sumber daya fosil dengan target bauran EBT sebesar 23-31% dari total energi yang diperlukan.
Namun, pencapaian tersebut baru mencapai angka 11,31% yang artinya baru setengah dari target awal di tahun 2025. Bentuk biomassa, yaitu biofuel merupakan materi yang berasal dari tumbuhan atau hewan, tetapi lebih cenderung dari tumbuhan. Bahan bakar nabati di Indonesia didominasi oleh bahan minyak sawit mentah. Teknik produksi biomassa menjadi biofuel yang telah dilakukan sampai saat ini adalah melalui proses atau cara secara konvensional dengan melakukan pengekstrakan, serta pembakaran langsung minyaknya.
Pembakaran langsung dari proses tersebut masih menyebabkan pencemaran lingkungan. Inovasi pembuatan reaktor static mixer untuk pemurnian, tanpa air, pengolahan pelet biomassa (bahan bakar padat) dengan kelengkapan alat gasifikasi untuk memperoleh gas sintesis telah dilakukan, serta disosialisasikan dalam bentuk inkubasi maupun pelatihan (Alamsyah, R., 2022).
Perkembangan teknologi biofuel dan bahan baku yang digunakan, kemudian menjadi lebih luas dengan berbagai bentuk inovasi baru untuk mewujudkan Net Zero Emission 2060. Pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan bakar energi menjadi strategi dengan dampak positif untuk lingkungan.
1. Analisis dalam Kebijakan di Indonesia
Kemampuan Indonesia untuk beralih dari sistem energi yang bergantung pada bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan adalah bagian penting dari Tinjauan Kebijakan dan Strategis Ambisi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020).
Berbagai kebijakan dan strategi pemerintah mendukung bahan bakar nabati, yang memainkan peran penting dalam transisi ini. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menerapkan program B30, yang mewajibkan pencampuran biodiesel sebesar 30% dengan panel surya konvensional (Purwanto et al., 2021). Strategi untuk meningkatkan rasio campuran ini menjadi B40 menunjukkan pendekatan yang lebih maju untuk diversifikasi energi (Nasution, 2022).
Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Peraturan Presiden No. 55/2022 tentang percepatan bauran energi terbarukan memprioritaskan bahan bakar nabati sebagai bagian dari bauran energi terbarukan (Kebijakan Energi Nasional Indonesia, 2017;Peraturan Presiden No. 55/2022).
Peraturan-peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar energi terbarukan.
Selain itu, industri kelapa sawit di Indonesia berkomitmen untuk mendukung strategi bahan bakar nabati. Indonesia menggunakan sumber minyak kelapa sawitnya untuk membuat biodiesel,
meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungannya pada minyak fosil impor (Bank Dunia, 2021).
Metode ini menghasilkan peningkatan pembangunan pedesaan dan penurunan defisit perdagangan (Nasution, 2022). Namun, perbandingan di seluruh dunia menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh, proyek etanol Brasil yang berbasis tebu menunjukkan bagaimana kerja sama pemerintah-swasta dan investasi jangka panjang dapat menciptakan ekosistem yang kuat untuk bahan bakar nabati (Goldemberg, 2008).
Dengan cara yang sama, Arahan Energi
Terbarukan Uni Eropa (Renewable Energy Directive/RED) menekankan standar keberlanjutan untuk memastikan bahwa produksi bahan bakar nabati tidak menyebabkan deforestasi atau kerusakan lingkungan lainnya. Langkah-langkah serupa dapat diambil oleh Indonesia untuk memperkuat kebijakannya (Purwanto et al., 2021).
Kesenjangan tetap ada meskipun telah dilakukan upaya. Kebijakan yang tidak konsisten, infrastruktur yang tidak memadai, dan adopsi bahan bakar nabati yang terbatas adalah beberapa masalah yang paling penting. Dibutuhkan peningkatan investasi dalam infrastruktur bahan bakar nabati, perbaikan kerangka kerja peraturan, dan inovasi bahan bakar nabati generasi kedua dan ketiga yang berasal dari biomassa nonpangan dan bahan limbah (Nasution, 2022).
2. Peran Biofuel dalam pencapaian Net Zero Emission di Indonesia
Bahan bakar nabati adalah alternatif terbarukan untuk bahan bakar fosil dan telah terbukti secara signifikan mengurangi emisi karbon di banyak bidang. Program B30 saja telah mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 23 juta ton setara CO2 setiap tahunnya, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (Kementerian ESDM, 2020).
Efektifitas ini dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rasio campuran, seperti B40 atau B50 (Purwanto et al., 2021). Selain itu, bahan bakar nabati sangat berguna di industri yang sulit didekarbonisasi, seperti penerbangan dan transportasi berat, di mana masih sulit untuk mendapatkan elektrifikasi (Goldemberg, 2008).
Bahan bakar nabati membantu sumber energi terbarukan yang berulang, seperti tenaga surya dan angin dengan menyediakan pasokan energi yang stabil dan dapat disalurkan. Keandalan energi dijamin oleh integrasi ini, terutama di daerah terpencil di mana infrastruktur jaringan listrik belum berkembang.
Sebagai contoh, jaringan mikro yang digerakkan oleh bahan bakar nabati
memiliki kemampuan untuk memberikan pasokan listrik yang berkelanjutan kepada penduduk di wilayah pertanian, mengurangi ketergantungan mereka pada generator diesel (Bank Dunia, 2021).
Dengan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan ekonomi pedesaan, dan mengurangi ketergantungan impor energi, bahan bakar nabati mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia (Purwanto et al., 2021).
Jutaan orang di Indonesia sekarang memiliki pekerjaan karena pengembangan biodiesel dari kelapa sawit (Bank Dunia, 2021). Selain itu, investasi dalam
fasilitas produksi dan penelitian bahan bakar nabati dapat mendorong kemajuan teknologi, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam inovasi energi terbarukan (Nasution, 2022).
Selain itu, kerja sama internasional untuk bahan bakar nabati membuka peluang kerja sama internasional. Ekspor bahan bakar nabati ke negara-negara seperti Brasil dan Uni Eropa dapat membantu transfer pengetahuan dan investasi di bidang infrastruktur.
Selain itu, ekspor bahan bakar nabati dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar energi terbarukan global, yang membantu tujuan ekonomi dan diplomatik Indonesia (Komisi Eropa, 2022).
Inovasi dalam teknologi biofuel sangat penting untuk mendukung pencapaian NZE. Salah satu inovasi terbaru adalah pemanfaatan limbah minyak jelantah sebagai bahan dasar pembuatan biodiesel. Penggunaan biodiesel berbasis minyak jelantah dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta mengurangi limbah (Ferdian et al., 2022). Teknologi ini telah berkembang melalui proses transesterifikasi, di mana minyak jelantah diubah menjadi metil ester
(biodiesel) dengan bantuan katalis.
Proses ini tidak hanya mengurangi limbah rumah tangga tetapi juga menghasilkan bahan bakar yang memiliki performa tinggi untuk kendaraan bermotor.
Pemanfaatan minyak jelantah juga didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti program B30 (campuran 30% biodiesel dalam solar), yang sudah diimplementasikan di Indonesia (Nur Asma Deli & Nina Veronika, 2023).
Selain minyak jelantah, tebu juga menjadi bahan baku yang potensial untuk bioetanol. Tebu tidak hanya digunakan untuk produksi gula tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol. Proses fermentasi gula tebu menghasilkan etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor.
Bioetanol memiliki keunggulan karena berasal dari sumber daya yang terbarukan dan proses pembakarannya menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih rendah. Bahkan, perusahaan seperti Pertamina telah mulai mengembangkan infrastruktur
yang mendukung distribusi bioetanol di beberapa wilayah Indonesia (Amelya et al., 2023).
Inovasi lain yang patut diperhatikan adalah pemanfaatan biomassa lignoselulosa, seperti limbah kayu, jerami padi, dan tandan kosong kelapa sawit. Teknologi pengolahan biomassa ini, seperti gasifikasi, biomassa menjadi gas sintesis (syngas) merupakan inovasi lain yang menjanjikan yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik maupun bahan bakar kendaraan. Gas ini dapat digunakan untuk menghasilkan listrik atau sebagai bahan baku untuk produksi bahan bakar cair.
Proses ini tidak hanya memaksimalkan penggunaan limbah organik tetapi juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Selain inovasi lignoselulosa juga menarik terdapat dalam desain reaktor static mixer untuk pemurnian biofuel tanpa air juga telah diperkenalkan. Desain reaktor static mixer untuk pemurnian biofuel tanpa air merupakan inovasi yang menawarkan peningkatan efisiensi sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Teknologi ini menghilangkan kebutuhan akan air dalam proses pemurnian, sehingga secara signifikan mengurangi konsumsi air dan limbah cair yang dihasilkan. Inovasi ini menjadi langkah penting menuju produksi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Tantangan Implementasi
Meskipun pengembangan biofuel di Indonesia menunjukkan banyak potensi dan inovasi, berbagai tantangan masih perlu diatasi untuk mewujudkan pemanfaatan yang lebih luas. Salah satu kendala utama adalah tingginya biaya produksi biofuel dibandingkan dengan bahan bakar fosil, yang membuat harga jual biofuel kurang kompetitif.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur
untuk distribusi dan penyimpanan biofuel juga menjadi hambatan signifikan dalam memastikan ketersediaannya di berbagai wilayah (Lubad & Widiastuti, 2010). Dari segi regulasi, meskipun telah ada kebijakan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, implementasi yang efektif masih menjadi tantangan untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23-31%.
Kombinasi dari berbagai hambatan ini
menuntut solusi komprehensif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat (Kharina et al., 2016).
Dalam konteks kebijakan, Indonesia telah memperkuat regulasi untuk mendukung pengembangan biofuel melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Target bauran energi terbarukan sebesar 23-31% pada tahun 2025 menjadi landasan penting dalam mengarahkan inovasi teknologi biofuel.
Selain itu, komitmen Indonesia dalam Paris Agreement menegaskan pentingnya pengembangan teknologi energi terbarukan sebagai strategi utama dalam mitigasi perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia yang menyatakan komitmen untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca hingga 41% pada tahun 2030 melalui berbagai inisiatif, termasuk pengembangan biofuel sebagai bagian integral dari upaya tersebut (Romadhona et al., 2024).
Inovasi yang mengarah pada biofuel untuk kendaraan bermotor menjadi fokus penting. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi di sektor transportasi, pengembangan biofuel seperti bioetanol, biodiesel, dan biogas dapat memberikan solusi berkelanjutan.
Pertamina, sebagai perusahaan energi nasional, telah memulai proyek pilot dalam pengembangan biofuel berbasis kelapa sawit dan minyak jelantah untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar kendaraan bermotor.
Masalah Lingkungan
Keberlanjutan lingkungan dari bahan bakar nabati telah dibahas secara luas, terutama selama produksi minyak kelapa sawit. Keanekaragaman hayati telah hilang, tanah telah rusak, dan emisi gas rumah kaca telah meningkat sebagai akibat dari deforestasi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar.
Akibatnya, manfaat lingkungan dari bahan bakar nabati telah berkurang (Jurnal Produksi Bersih, 2021). Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2021 di Journal of Cleaner Production menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang diubah untuk produksi bahan bakar nabati di Indonesia menyumbang hampir 10% dari emisi gas rumah kaca nasional (Journal of Cleaner Production, 2021).
Selain itu, budidaya bahan baku seperti kelapa sawit seringkali memerlukan penggunaan pupuk dan air yang cukup banyak, yang menyebabkan eutrofikasi dan polusi air (Purwanto et al., 2021).
Kriteria keberlanjutan yang ketat dan program sertifikasi, seperti Standar Palm Oil Berkelanjutan Indonesia (ISPO), harus diterapkan dan diselaraskan dengan standar internasional seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk mencegah dampak negatif (Komisi Eropa,
2022).
Kondisi Ekonomi
Bahan bakar nabati masih menghadapi banyak tantangan ekonomi. Produksi bahan bakar nabati seringkali lebih mahal daripada bahan bakar fosil, membuatnya tidak kompetitif jika tidak ada
subsidi (Bank Dunia, 2021). Namun, meskipun pemerintah telah memberikan insentif untuk industri ini, ketergantungan pada subsidi tidak dapat bertahan lama (Nasution, 2022).
Sangat penting untuk meningkatkan biaya produksi bahan bakar nabati melalui kemajuan teknologi dan skala ekonomi (Purwanto et al., 2021). Selain itu, perubahan harga minyak kelapa sawit di seluruh dunia dapat berdampak pada seberapa mudah dan stabil produksi biodiesel dapat dilakukan (Journal of Clean Production, 2021).
Dengan memasukkan tanaman non-pangan, ganggang, dan limbah pertanian, diversifikasi bahan baku dapat mengurangi ketergantungan pada minyak kelapa sawit dan meningkatkan ketahanan industri bahan bakar nabati.
Hambatan Teknologi
Kendala Keuangan dan Teknologi menghalangi adopsi bahan bakar nabati tingkat lanjut, seperti bahan bakar nabati generasi kedua dan ketiga (Goldemberg, 2008). Bahan bakar nabati, yang dibuat dari biomassa dan limbah nonpangan, menawarkan tingkat keberlanjutan yang lebih tinggi, tetapi membutuhkan infrastruktur produksi dan investasi besar dalam penelitian dan
pengembangan (Komisi Eropa, 2022).
Sebagai contoh, cellulosic ethanol dan bahan bakar nabati alga memiliki potensi yang luar biasa, tetapi mereka menghadapi kesulitan untuk meningkatkan
skala agar dapat digunakan secara komersial (Journal of Cleaner Production, 2021).
Tantangan Sosial dan Politik
Banyak pemangku kepentingan menentang kebijakan bahan bakar nabati. Ini termasuk masyarakat pertanian yang memperhatikan persaingan antara bahan pangan dan bahan bakar serta kelompok lingkungan yang khawatir tentang deforestasi dan perubahan tata guna lahan (Purwanto et al., 2021).
Untuk mengatasi masalah ini dan mencapai kesepakatan tentang kebijakan bahan bakar nabati, kampanye kesadaran publik dan pelibatan pemangku kepentingan yang efektif sangat penting (Nasution, 2022). Selain itu, pertumbuhan sektor bahan bakar nabati dihambat oleh masalah politik seperti ketidakkonsistenan peraturan dan ketidakefektifan birokrasi (Jurnal Produksi Bersih, 2021).
Sebagai contoh, masalah koordinasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri menyebabkan program B40 tertunda (Nasution, 2022).
Policy Recommendations
Dalam mengatasi tantangan dalam pengembangan biofuel di Indonesia, diperlukan solusi inovatif yang menyelaraskan pendekatan teknologi, kebijakan, dan aplikasi praktis, terutama di sektor transportasi. Dalam konteks teknologi, pemanfaatan reaktor static mixer dapat menurunkan biaya produksi biofuel dengan meningkatkan efisiensi proses dan mengurangi
kebutuhan energi.
Diversifikasi bahan baku lokal yang berlimpah dan terjangkau, seperti limbah pertanian, minyak jelantah, atau kelapa sawit non-pangan, menjadi kunci dalam menekan biaya sekaligus mendukung ekonomi sirkular.
Melalui dukungan infrastruktur distribusi, proyek pilot yang telah dilakukan oleh Pertamina dalam pengembangan biofuel berbasis kelapa sawit dan minyak jelantah dapat diperluas melalui kemitraan strategis dengan sektor swasta dan komunitas lokal. Langkah ini dapat menciptakan rantai pasok yang lebih terintegrasi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan bioetanol, biodiesel, dan biogas sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Dalam aspek kebijakan, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal, seperti subsidi bahan baku biofuel atau keringanan pajak bagi produsen, dan menerapkan mandatori penggunaan biofuel untuk kendaraan bermotor. Regulasi yang mendukung penggunaan biofuel di sektor transportasi juga perlu diperkuat, misalnya dengan meningkatkan mandatori pencampuran biodiesel (B30 atau lebih) dalam bahan bakar kendaraan bermotor.
Hal ini perlu didukung dengan pengawasan
yang kuat untuk memastikan implementasi kebijakan berjalan sesuai target, terutama dalam mencapai bauran energi terbarukan 23-31% pada 2025 dan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 41% pada 2030 sesuai dengan NDC Indonesia.
1. Meningkatkan Proyek Keberlanjutan
Langkah-langkah keberlanjutan yang lebih ketat, seperti sertifikasi ISPO, perlu diterapkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah lingkungan yang terkait dengan bahan bakar nabati yang
berasal dari minyak kelapa sawit (Rashid et al., 2021).
Menurut Komisi Eropa (2021), Organisasi Minyak Sawit Berkelanjutan Internasional (ISPO) akan dapat meningkatkan reputasinya dan memenuhi pembatasan pasar ekspor, terutama di Uni Eropa (UE), jika ISPO menyelaraskan diri dengan standar global seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Menurut Hassim dkk. (2022), produksi bahan bakar nabati dapat memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan jika insentif diberikan untuk mendorong pengembangan berbagai macam bahan baku, yang dapat mencakup tanaman non-pangan dan produk limbah pertanian.
2. Pemerintah Harus Berinvestasi Ke Dalam Teknologi Biofuel
Investasi ke dalam teknologi biofuel diperlukan untuk menghasilkan dan meningkatkan produksi biofuel generasi kedua dan ketiga yang terbuat dari biomassa dan produk limbah yang tidak dapat digunakan untuk makanan (Kumar et al., 2022). Pada tahun 2023, Badan Energi Internasional (IEA) menyarankan agar pemerintah menyisihkan dana untuk penelitian dan pengembangan serta menawarkan insentif kepada perusahaan swasta yang berinvestasi pada teknologi bahan bakar nabati yang canggih.
Hal ini dapat dicapai melalui kemitraan dengan para pemimpin dunia dalam produksi bahan bakar nabati tingkat lanjut, seperti Amerika Serikat dan Brasil (Gomes et al., 2021). Hal ini akan mempercepat proses transfer teknologi dan inovasi.
3. Mengimprovisasi dan Mengembangkan Teknologi yang Sudah Ada di Indonesia
Untuk mengakomodasi rasio campuran yang lebih besar, seperti B40 dan B50, penting untuk meningkatkan infrastruktur untuk produksi, penyimpanan, dan distribusi bahan bakar nabati (KESDM, 2023).
Pemerintah disarankan untuk memprioritaskan pengembangan jaringan logistik dan kilang biofuel di daerah pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi biaya (Halim et al., 2022). Kemitraan pemerintah-swasta memiliki potensi untuk memberikan bantuan yang besar dalam mengatasi kekurangan infrastruktur dan memastikan bahwa bahan bakar nabati
dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam bauran energi secara keseluruhan (Advanced Development Bank, 2022).
4. Diversifikasi Jangkauan Bahan Bakar yang Tersedia
Diversifikasi bahan baku dan mengurangi ketergantungan pada minyak kelapa sawit merupakan dua hal terpenting yang dapat dilakukan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dan menjaga stabilitas harga (Rosillo-Calle, 2021).
Sejalan dengan temuan Rajendran dkk. (2023), para pembuat kebijakan perlu mendorong eksploitasi bahan baku alternatif seperti jarak pagar, ganggang, dan sampah kota. Menurut International Energy Agency (2023), penetapan insentif pajak dan subsidi untuk produsen dapat meningkatkan tingkat pemanfaatan bahan baku
alternatif.
5. Peningkatan Kebijakan yang Bersifat Berkelanjutan
Untuk menghindari redudansi peraturan dan inefisiensi, pemerintah harus memastikan bahwa semua peraturan yang berkaitan dengan bahan bakar nabati kompatibel satu sama lain dan terkait
satu sama lain (World Bank, 2023). Menurut Halim dkk. (2022), pembentukan gugus tugas antar kementerian untuk memantau pelaksanaan kebijakan bahan bakar nabati dapat memfasilitasi
kolaborasi yang lebih efisien di antara para pemangku kepentingan. Ketika inisiatif seperti B40 diuraikan dengan tujuan yang tepat dan tanggal jatuh tempo, maka akan memungkinkan untuk
meningkatkan tingkat kepercayaan dan keterlibatan di dalam industri (KESDM, 2023).
6. Mendorong Kolaborasi dan Kerja Sama Internasional
Keterlibatan Indonesia yang lebih besar dalam kolaborasi internasional dapat bermanfaat bagi berbagai bidang, termasuk pengembangan pasar, akses terhadap teknologi, dan perdagangan bahan bakar nabati global. Menurut Gomes dkk. (2021), akan sangat bermanfaat untuk memperoleh pengetahuan dan sumber daya dari negara-negara seperti Brasil yang telah memproduksi bahan bakar nabati dalam jangka waktu yang cukup lama.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) merekomendasikan agar Indonesia memprioritaskan pengakuan bahan bakar nabati oleh sistem kredit karbon global untuk menarik investor internasional.
Kesimpulan
Pengembangan biofuel sebagai strategi untuk transisi energi Indonesia menuju Net Zero Emission pada tahun 2060 dapat dicapai melalui kebijakan pemerintah, seperti program B30 yang sudah mengurangi efek gas rumah kaca, hingga 23 juta ton setara CO2 per tahunnya.
Pemanfaatan kelapa sawit sebagai bahan baku dari biofuel membawa dampak positif bagi ketahanan energi nasional, penciptaan lapangan pekerjaan, dan ketergantungan yang selama ini Indonesia alami terhadap impor bahan bakar fosil.
Kesempatan untuk meraih tujuan Net Zero
Emission 2060 dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang memerlukan perhatian serius, seperti masalah keberlanjutan lingkungan berupa deforestasi dan polusi air akibat produksi kelapa sawit, hingga tantangan ekonomi, termasuk biaya yang tinggi terhadap ketergantungan subsidi. Namun, tantangan ini dapat diatasi dengan inovasi teknologi, diversifikasi bahan baku, dan peningkatan skala ekonomi.
Melalui pengelolaan yang tepat, peningkatan investasi terhadap infrastruktur, serta kolaborasi antara pemerintah dan industri menjadikan biofuel sebagai pilar utama dalam transisi energi Indonesia. Dukungan kebijakan yang konsisten, inovasi teknologi berkelanjutan, dan kerja sama internasional memperkuat posisi Indonesia dalam tujuan mengembangkan energi terbarukan, serta mewujudkan visi NZE 2060.
Komentar Terbaru