Suhu rata-rata permukaan bumi telah meningkat sekitar 1°C (1.8°F) sejak dimulainya masa.revolusi industri pada tahun 1900, dengan lebih dari separuh peningkatan terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an. Berbagai pengamatan, seperti berkurangnya luas es laut Arktik dan meningkatnya permukaan air laut, serta indikasi dari dunia alamiah secara bersama-sama memberikan bukti yang tak
terbantahkan tentang pemanasan skala planet.

Sejak pertengahan tahun 1800-an, para ilmuwan telah.mengetahui bahwa CO2 adalah salah satu gas rumah kaca utama yang penting bagi keseimbangan energi bumi. Namun, pengukuran langsung CO2 di atmosfer dan udara yang terperangkap dalam es menunjukkan bahwa CO2 di atmosfer meningkat lebih dari 40% dari tahun 1800 hingga 2019 akibat aktivitas manusia. Angka ini akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan industri yang melakukan pembakaran bahan bakar fosil dan akhirnya menciptakan ketidakseimbangan energi yang dampaknya sangat krusial terhadap seluruh aspek kehidupan.

Menghadapi krisis akibat perubahan iklim ini, berbagai diskusi internasional digelar untuk menegaskan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi, kapasitas, dan kedaulatan negara agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.

Komitmen dan kontribusi Indonesia dalam hal ini terlihat dengan meratifikasi Perjanjian Paris di New York pada tanggal 22 April 2016 yang kemudian diikuti oleh penerbitan Undang-Undang No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris dan pembuatan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon.

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% jika dibantu kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi pada tahun 2030, yang akan dicapai melalui sektor kehutanan (17.2%), energi termasuk transportasi (11%), limbah (0.38%), proses industri dan penggunaan produk (0.10%), dan pertanian (0.32%).

Indonesia tengah berusaha menetapkan berbagai macam strategi dan target ambisius untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 serta mewujudkan ekonomi hijau dalam agenda nasionalnya. Salah satu strategi tersebut adalah dengan mencanangkan target EBT dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

Indonesia diketahui memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai energi terbarukan, seperti energi surya, air, angin, panas bumi dan bioenergi dan/atau biomassa.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi yang dapat diperoleh dari sumber daya energi terbarukan di Indonesia adalah sebesar 3.686 Gigawatt (GW), dengan kontribusi energi surya sebesar 3.295 GW, energi bayu/angin sebesar 155 GW, bioenergi dan/atau biomassa sebesar 576 GW, energi hidro (air) sebesar 95 GW, energi arus laut sebesar 60 GW, dan energi panas bumi sebesar 24 GW.

Namun, potensi besar tersebut dalam realisasinya atau pemasangan pembangkit listrik Energi Terbarukan baru mencapai 13.155 Megawatt (MW) atau 13,16 GW, dengan kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar 154,3 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) (ground mounted, terapung & atap) sebesar 573,8 MW, PLT Bio (biomassa, biogas, sampah) sebesar 3.195,4 MW, PLTP (panas bumi) sebesar 2.417,7 MW, dan juga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 6.784,2 MW per tahun 2023. Selanjutnya, guna memaksimalkan potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia, sekaligus mencapai target ambisius dari Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2030, dan
Net Zero Emission (NZE) tahun 2060,

Indonesia perlu merencanakan berbagai strategi yang tepat dan matang, dengan melibatkan kontribusi lebih banyak pihak multisektoral. Salah satu strategi tersebut adalah pendanaan hijau yang suportif terhadap realisasi potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam “Indonesia Energy Transition Outlook 2024”, investasi untuk transisi energi masih jauh dari kebutuhan yang diproyeksikan untuk mencapai NZE, meskipun ada peluang untuk prospek yang lebih positif.

Indonesia diperkirakan membutuhkan biaya sekitar USD 30 – 40 miliar per tahun guna melakukan transisi energi. Namun, pada tahun 2022, investasi yang tersedia untuk energi terbarukan dan efisiensi
energi hanyalah sebesar USD 1,6 miliar, sementara investasi untuk infrastruktur jaringan listrik hanya sebesar USD 2,4 miliar. Proyek energi terbarukan memang menghadapi tantangan dalam perkembangannya, terutama akibat kurangnya pendanaan jangka panjang, tingkat pengembalian yang rendah, dan berbagai risiko yang terkait dengan pasar dan kebijakan.

Investasi penelitian dan pengembangan (R&D) dapat menjadi jawaban dalam mengatasi masalah pendanaan ini, di mana instrumen ini melibatkan dana publik dan swasta, serta pendanaan skala kecil yang terdistribusi seperti crowdfunding dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung proyek-proyek energi bersih.

Pendanaan dari Bank Investasi Negara juga bisa berperan dalam mendanai proyek besar atau teknologi energi bersih, misalnya seperti bank yang bisa memobilisasi dana swasta melalui berbagai instrumen, seperti pinjaman konsesi, jaminan, atau investasi ekuitas. Hal tersebut sudah dilakukan di Indonesia, seperti Bank Mandiri yang menerbitkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan (Green Bond) pada tahun 2023 dengan total alokasi
Green Bond ini sekitar Rp10 triliun yang siap digunakan untuk membiayai atau membiayai kembali kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kategori Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).

Di luar hal itu, kegiatan operasional Bank Mandiri juga mencakup pemasangan panel surya di beberapa kantor Bank Mandiri di kota-kota besar seluruh Indonesia. Bank Mandiri juga terus berupaya memenuhi konsep green building atau bangunan ramah lingkungan dalam prinsip pembangunan gedung perkantoran.

Selain faktor pendanaan, kebijakan pemerintah dalam usaha mencapai target ambisius berskala internasional sangatlah krusial. Tidak terkecuali pada sektor energi terbarukan ini, pemerintah memainkan peran yang sangat penting sebagai pembuat kebijakan, menentukan arah kemana sektor ini akan berkembang.

Pemerintah harus tegas dan realistis dalam mengambil kebijakan yang mendukung transisi energi ini, termasuk dalam menentukan target. Sejauh ini, bauran energi terbarukan dalam kelistrikan nasional berada di angka 14% per tahun 2024, yang dimana target pemerintah pada tahun 2025 adalah 23% bauran. Berbagai langkah konkret perlu diambil dalam
proses transisi energi fosil menjadi energi terbarukan karena akan menentukan nasib negara kedepannya.

Dalam hal ini ketahanan energi sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor penunjang negara lainnya, seperti ketersediaan sumber daya, kondisi iklim, indeks harapan hidup, dan bahkan perekonomian nasional.

Langkah-langkah efektif yang bisa diambil pemerintah antara lain adalah meningkatkan lebih banyak lagi prioritas pada proyek energi terbarukan dan menekankan inovasi teknologi terbaru yang harus terus dikembangkan. Dengan protektivitas yang tinggi pada kondisi iklim, pemerintah juga berkewenangan untuk membatasi berbagai proyek yang masih akan memanfaatkan energi fosil.

Dalam hal ini, pemerintah telah menunjukkan upayanya dengan meresmikan PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat menjadi salah satu yang terbesar ke-3 di dunia. Selain itu juga per tanggal 22 Agustus 2024, pemerintah telah siap untuk memensiunkan 13 PLTU yang masuk kedalam kriteria tertentu.

Kemudian, pemerintah juga perlu memberikan penguatan regulasi dan pemerataannya melalui pemerintah daerah, termasuk mengenai persyaratan dalam pengadaan energi listrik terbarukan, sehingga langkah dalam transisi energi dapat dilakukan dalam skala yang lebih mikro, tetapi tepat sasaran pada masyarakat setempat.

Selain itu sebagai negara berkembang, Indonesia juga perlu menjalin berbagai kerja sama maupun koordinasi dalam lingkup internasional, yaitu belajar dari negara-negara maju dalam melakukan transisi energi agar dapat melakukan mitigasi-adaptasi, transfer teknologi, dan akhirnya menciptakan berbagai proyek energi bersih bersama.

Transisi menuju pemanfaatan energi terbarukan juga memerlukan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, adaptif, dan inovatif sebagai salah satu modal utamanya. Saat ini, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, pelatihan, dan pengembangan keterampilan harus menjadi prioritas utama.

Energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, bioenergi, dan hidro dalam pengembangannya, membutuhkan berbagai teknologi mutakhir serta pemahaman mendalam untuk operasionalisasi dan pengelolaannya. Pendidikan formal di bidang energi terbarukan perlu diperkuat dengan menambahkan kurikulum khusus yang mencakup teknologi energi hijau, manajemen energi, maupun keberlanjutan lingkungan.

Pelatihan teknis yang berorientasi praktik juga penting untuk mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten dalam instalasi, pemeliharaan, dan pengelolaan sistem energi terbarukan.

Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor industri juga harus diperkuat untuk menciptakan program pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan pasar. Beasiswa, magang, dan program sertifikasi dapat menjadi cara efektif untuk menjembatani kesenjangan keterampilan tersebut. Tidak hanya itu, pengembangan SDM juga harus mencakup peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya energi terbarukan. Melalui kampanye edukasi publik dan pelatihan berbasis komunitas, masyarakat dapat didorong untuk berpartisipasi aktif dalam transisi
energi.

Dengan membangun SDM yang unggul, Indonesia dapat memaksimalkan potensi energi terbarukannya sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Hal ini juga akan membuka peluang kerja baru di sektor energi hijau dan meningkatkan daya saing bangsa di era ekonomi berkelanjutan.

Kenyataannya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya kolaboratif multisektoral guna mendukung percepatan transisi energi di dalam negeri, seperti menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik guna mendorong target penurunan emisi Indonesia tahun 2030. Berbagai pihak dan seluruh lapisan masyarakat perlu ditekankan lagi dan diharapkan dapat terlibat aktif dalam berpartisipasi sekaligus bekerja sama untuk melakukan percepatan transisi energi terbarukan yang potensinya sangat besar di negara kita ini.

Dengan demikian, berbagai program maupun strategi pemerintah dalam investasinya, diharapkan mampu memberikan Indonesia peluang besar dalam mencapai target net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat sesuai dengan Perjanjian Paris.