Persepsi masyarakat bahwa kegiatan pertambangan mineral dan batubara (minerba) merusak lingkungan masih bergeming. Hal itu tidak sepenuhnya salah karena masih banyak pengusaha tambang yang nakal, membiarkan areal tambang begitu saja tanpa direklamasi. sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan potensi bahaya. Lubang tambang yang dibiarkan telah memakan korban jiwa, masalah ini juga menjadi masalah kemanusiaan. Kerusakan lingkungan menyebabkan masyarakat yang bergantung pada lingkungan tersebut kehilangan mata pencaharian.
Pemerintah berusaha membalikkan kondisi ini dengan mewajibkan pengusaha menyetor dana jaminan reklamasi. Pada awalnya, dasar hukum dana jaminan reklamasi adalah UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan perubahannya, dan PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, UU Minerba mengatur kewajiban pemegang izin konsesi pertambangan untuk melakukan reklamasi dengan tingkat keberhasilan sempurna, dan menetapkan sanksi pidana berat bagi yang tidak melaksanakannya atau tidak menempatkan dana jaminannya. Sementara PP No. 78 Tahun 2010 menjadi dasar peraturan pemerintah mengenai reklamasi dan pascatambang, yang menjabarkan lebih lanjut kewajiban dan mekanisme yang harus dijalankan.
Tetapi, regulasi itu tidak membuat semua pengusaha patuh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkap kebiasaan buruk para pengusaha dimana dana jaminan reklamasi biasa diabaikan demi mengurangi pengeluaran. Sejumlah temuan ini menunjukkan pengelolaan pascatambang masih belum maksimal. Pengusaha biasanya baru mengurus dana jaminan reklamasi setelah adanya laporan. Itu pun, jika aduan ditindaklanjuti oleh pihak yang menerima laporan.
Selain pengabaian, KPK menemukan adanya penyalahgunaan dana jaminan reklamasi. Temuan KPK, ada uang yang salah masuk kas instansi terkait sektor pertambangan ini. Dari penelusuran KPK, ditemukan inkonsistensi angka setoran dana akibat perubahan regulasi, di mana sebagian dana dikembalikan lagi ke daerah untuk reklamasi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Akibatnya, jumlah dana yang diterima Kementerian ESDM menjadi lebih kecil.
KPK menemukan adanya penghitungan dana jaminan reklamasi yang tidak sesuai dengan areal pertambangan. Pengurangan harga ini diyakini agar pengusaha membayar lebih murah. Besaran jaminan reklamasi didasarkan pada luas area, yang seharusnya didasarkan pada volume. Artinya seharusnya besaran jaminan lebih besar dari ketentuan semula.
Masalah dana jaminan reklamasi lain yang muncul adalah penggunaan dana yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya dana tersebut dicairkan sebelum reklamasi dilakukan), serta pengawasan yang lemah sehingga banyak lubang tambang yang tidak direklamasi. Akibatnya, negara berpotensi mengalami kerugian dan masyarakat menjadi korban akibat kelalaian pengusaha. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat potensi kerugian negara hingga Rp832,26 miliar dan USD58 juta akibat masalah ini.
Pengusaha banyak yang mengabaikan dana jaminan reklamasi ini karea sanksi administratif seperti pencabutan izin tidak efektif karena tidak ada dampak signifikan pada perusahaan yang sudah tidak beroperasi lagi. Maka, dibutuhkan sanksi yang lebih kuat seperti pengenaan denda yang besar atau penghentian penjualan minerba yang dilakukan perusahaan itu walaupun lokasi tambangnya berlainan.
Beruntung pada saat ini pemerintah terus membenahi masalah tersebut. Baru-baru ini, keluar Permen ESDM No. 17 Tahun 2025 dan Kepmen ESDM No. 344 Tahun 2025. Permen ESDM No. 17 Tahun 2025 menegaskan bahwa penempatan dana jaminan reklamasi adalah syarat mutlak untuk persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Adapun Kepmen ESDM No. 344 Tahun 2025 menyederhanakan bentuk jaminan menjadi deposito berjangka di bank himpunan bank milik negara (Himbara) untuk memastikan ketersediaan dana. Dulu bentuk jaminan bisa bank garansi, rekening bersama, atau cadangan akuntansi.
Dengan cara itu, maka proses reklamasi tidak akan dilewatkan oleh perusahaan karena jika perusahaan lalai maka pemerintah yang akan menyelesaikan reklamasi dengan dana yang sudah disetor perusahaan. Pemerintah akan menunjuk pihak ketiga. Untuk itu ada keuntungan pihak ketiga dalam komponen biaya jaminan yang harus disetor. Jadi, nilai jaminan reklamasi akan lebih besar dari pada kegiatan reklamasi. Pemerintah memastikan perusahaan bisa kembali menarik dana yang disetor saat reklamasi rampung dilakukan plus bunganya.
Selain itu dalam aturan baru ini pemerintah menetapkan langsung Standar Biaya Reklamasi (SBR) sehingga nilai jaminan bukan lagi usulan ditetapkan sepihak pemerintah tetapi berdasarkan lahan yang dibuka. Pengaturan itu merupakan sebuah kemajuan karena dana jaminan reklamasi yang harus disetor perusahaan akan berdasarkan pada volume galian. Dengan demikian, kerugian akibat dana jaminan yang lebih kecil dari seharusnya dapat dihindari.
Regulasi ini selain akan membawa kepastian terhadap operasi pascatambang, pada sisi lain akan menyebabkan bank-bank Himbara mendapatkan suntikan dana segar. Potensi nilai dana jaminan reklamasi tambang seperti yang dilaporkan oleh Kementerian ESDM mencapai Rp35 triliun. Bank-bank Himbara dapat menggunakan likuiditas itu untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor usaha sehingga perekonomian nasional dan daerah dapat bergerak.
Tetapi, kewajiban pengusaha menyetor dana jaminan reklamasi dalam bentuk deposito berjangka menyabkan pemilik IUP harus memiliki likuiditas yang sehat. Tanpa itu, perusahaan tidak akan dapat beroperas karena RKAP-nya tidak akan disetujui pemerintah. Jika seperempat saja dari jumlah total pemilik IUP tambang yang tercatat ada 4.250 izin (per Juli 2025) tidak memiliki fresh money maka diperkirakan angka produksi minerba akan menurun. Kegiatan tambang yang terhenti akan mengurangi pendapatan negara serta membawa multiplier effect yang signifikan pada perekonomian masyarakat. Potensi kerugian tersebut harus menjadi perhatian dari pemerintah.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah sinkronisasi regulasi pemerintah pusat dan daerah. Terkadang ada peraturan daerah (Perda) yang juga mengatur hal ini, seperti yang berlaku di Provinsi Kalimantan Timur. KPK menyebut salah satu penyebab masalah dalam polemik dana jaminan reklamasi ini adalah regulasi yang tumpeng tindih. Pemerintah daerah dan pusat diharap berembuk agar tidak membuat aturan yang bertabrakan sehingga penegakan hukum menjadi lebih mudah.
Regulasi baru ini patut diapresiasi. Namun, kita berharap pengawasan tambang juga ditingkatkan sehingga potensi-potensi penyalahgunaan atau pelanggaran hukum dapat diminimalkan.(*)




Komentar Terbaru