Pemerintah berencana menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April 2016. Pemerintah tentu perlu berhati-hati dalam  memutuskan kebijakan penurunan harga BBM tersebut. Apalagi, kondisi stabilitas ekonomi dalam negeri dewasa ini semakin tidak menentu sebagai dampak dari ketidakpastian global maupun akibat dari kondisi politik dalam negeri yang sangat dinamis.

Pertarungan dalam harga komoditas, pertarungan mata uang (currency war) dan persaingan dalam tehnologi khsusunya dalam tehnologi minyak telah menimbulkan gelombang perubahan besar bidang ekonomi dan sosial politik.  Kondisi ini menyebabkan kondisi ekonomi dan sosial politik nasional juga mengalami gejolak.

Krisis ekonomi global saat ini berdampak langsung terhadap ekonomi Indonesia dan pendapatan negara adalah krisis dalam bentuk penurunan harga komoditas pertambangan, perkebunan, dan harga minyak. Pemerintah mengantisipasi dengan penghematan fiskal melalui pengurangan subsidi dan berupaya meningkatkan pendapatan negara dari pajak. ‎

Sebagai konsekuensi dari pengurangan subsidi BBM adalah pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014 dengan kenaikan sebesar rata-rata 34%. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 2014, pemerintah mengumumkan sistem penetapan harga BBM melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 191 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 39 Tahun 2014) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2015.

Peraturan ini menetapkan bahwa harga bensin dan solar akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang. Perubahan Harga bensin dan solar akan diumumkan setiap bulannya (atau lebih dari sebulan sekali jika diperlukan) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM), berdasarkan harga rata-rata bulanan minyak dunia (misalnya, Nilai Mean/Rata-rata Platts Singapura) dan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.

Kebijakan menaikkan harga BBM telah membawa dua dampak yakni kenaikan harga harga (inflasi) yang tidak terkendali dan pada saat yang sama terjadi menurunnya daya beli masyarakat akibat pelemahan ekonomi yang hanya tumbuh 4,7 % lebih rendah dari tahun 2014. Sementara konsumsi Rumah Tangga Sebagai Penyumbang Terbesar Terhadap Domestik Bruto (PDB) Indonesia  yakni mencapai 55,92 % (tahun 2015). ‎

Sebagian besar konsumsi rumah tangga adalah dikontribusikan oleh konsumsi bahan pangan atau makanan. Kenaikan harga BBM telah memicu naiknya harga pangan. Selanjutnya, pemerintah melakukan penurunan harga BBM pada awal tahun 2015 yang menurunkan harga premium dari Rp. 8500/liter menjadi Rp 7600/liter dan solar dari Rp 7250/liter menjadi Rp 6400/liter. Selanjutnya pula pada 19 Januari 2015 menurunkan harga premium dari Rp 7.600/liter menjadi Rp 6.600/liter. ‎

Kebijakan ini dilakukan pemerintah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Peraturan Presiden dan Peraturan menteri ESDM tentang evaluasi harga BBM yang harus dilakukan minimal setiap bulan sekali oleh pemerintah. Namun penurunan yang dilakukan berkali kali tersebut ternyata tidak memberi dampak sama sekali terhadap penurunan harga harga (deflasi). Bahkan harga harga pangan dan kebutuhan hidup sehari hari terus mengalami peningkatan sepanjang 2015. ‎

Rencana penurunan kembali harga jual BBM pada 1 April 2016 mendatang, diprediksi tidak akan memberi dampak pada penurunan harga harga kebutuhan pokok rakyat yang saat ini yang terus mengalami kenaikan. Sementara pemerintah mengharapkan penurunan ini akan menggairahkan ekonomi kembali. ‎

Perlu diketahui bahwa pelemahan ekonomi Indonesia sekarang merupakan dampak ikutan dari pelemahan ekonomi global dalam bentuk pelemahan harga komoditas yang merupakan andalan ekspor Indonesia, sumber pendapatan perusahaan, sumber penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber pendapatan masyarakat.

Rencana penurunan harga BBM pada 1 April 2016 tepat pada saat harga minyak dunia tengah merangkak naik sehingga tidak menutup kemungkinan pemerintah akan melakukan penyesuaian harga kembali dalam bulan bulan mendatang, sebagai pelaksanaan dari Perpres No 191 Tahun 2014 dan Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014 yang menetapkan harga BBM berdasarkan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serkat (AS).

Pemerintah telah mengurangi secara signifikan subsidi BBM. Pemerintah telah mencabut secara keseluruhan subsidi untuk bahan bakar premium dan menyisahkan subsidi sebesar Rp 1000/liter untuk subsidi bahan bakar solar. Sementara kedua jenis bahan bakar tersebut adalah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian harga BBM lebih diserahkan sebagian kepada mekanisme pasar dan intervensi terbatas oleh pemerintah.

‎Pemberian subsidi bbm secara terbatas  mengakibatkan biaya pengadaan dan distribusi BBM ditanggung oleh korporasi dalam hal ini oleh  PT. Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara yang diserahkan tugas menyalurkan BBM penugasan jenis Premium, solar dan minyak tanah. Akibatnya BUMN Pertamina menanggung kerugian yang besar dari sektor hilir. Padahal dari sektor hulu PT. Pertamina telah tergerus pendapatannya kerana menurunnya harga minyak mentah dunia.

Sebagaimana diketahui bahwa perusahaan raksasa global telah mengalami kerugian terparah sepanjang Tahun 2015 akibat penurunan harga minyak. banyak perusahaan multinasinal telah mengurangi pengeluaran mereka, memangkas tenaga kerja melalui PHK dalam jumlah yang sangat besar. ‎

Demikian pula halnya dengan negara negara yang menggantungkan pendapatan mereka dari minyak telah mengalami tekanan krisis yang parah. Hal ini dialami oleh Rusia, Arab Saudi dan Venezuela serta berbagai negara lainnya. Venezuela justru menaikkan harga jual BBM di negaranya hingga 6000 % sepanjang 2015 untuk menutup kerugian yang diderita negara. Pemerintah Arab Saudi menaikkan harga BBM hingga mencapai 40 %. Kedua negara tersebut selama ini memang menikmati harga BBM sangat murah.

Karena itu, sebagai bangsa, sepantasnya kita bersyukur kepada Allah Swt dan kepada anak bangsa yang mendedikasikan tenaga pikiran dan karyanya kepada PT Pertamina (Persero) dengan bukti nyata bahwa Pertamina sebagai perusahaan energi milik‎ bangsa terbukti masih mampu membukukan laba bagi Pertamina dan belum pernah terdengar merencanakan PHK terhadap pekerjanya.

‎Berkaitan dengan kondisi tersebut di atas, kami menyampaikan beberapa masukan dengan harapan dapat dijadikan pertimbangan oleh kemetrian Eenergi Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam mengevaluasi harga BBM dan menetapkan harga baru BBM pada 1 April 2016 mendatang.

Pertama, pemerintah harus mempertimbangkan bahwa saat ini harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan kembali. Demikian juga dengan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang juga cenderung naik terhadap mata uang Rupiah. Dengan demikian ongkos produksi  dan distribusi BBM di dalam negeri akan cenderung meningkat. Dengan kondisi tersebut tidak akan menghidarkan pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM. Oleh karena itu pemerintah hendaknya mempertimbangkan secara hati-hati rencana penurunan harga BBM. Harga BBM yang flugtuatif seperti “yoyo” akan memicu gejolak ekonomi dan semakin tidak terkendalinya inflasi.‎

Kedua, pemerintah sebaiknya fokus menjaga stabilitas harga BBM dan energi lainnya dalam rangka menjaga kelangsungan produksi, produktifitas dan perbaikan daya beli masyarakat.Bentuk stabilitas harga BBM itu sebagaimana yang dinikmati bangsa Indonesia sepanjang 30 tahun pemerintahan Soeharto. Membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai perkembangan harga minyak mentah dan nilai tukar merupakan ciri sistem ekonomi pasar yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. ‎

Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM dengan cara menghapuskan pajak dalam rantai produksi dan distribusi BBM di dalam negeri. Secara kongkrit subsidi ini dapat diberikan dengan cara menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor (PBBKB). Pemungutan pajak tinggi pada barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini premium dan solar adalah tidak etis dan berlawanan dengan prinsip barang bersubsidi. Dalam logika awam disebut “jeruk makan jeruk”.

Keempat, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pembentukan sistem dana stabilitasi yang diambil dari kelebihan harga jual BBM dalam rentang waktu flugtuasi harga. Dana stabilitasi dikelola oleh Pertamina yang selama ini diserahkan tugas untuk menyediakan dan  endistribusikan BBM penugasan. Pengelolaan dana ini dilakukan secara transparan dan dilaporkan kepada publik setiap Bulan. Dengan demikian Pertamina dapat meminimalisir kerugian akibat pencabutan subsidi BBM sebagaimana yang terjadi awal 2015 lalu.

Kelima, pemerintah mutlak menetapkan harga BBM yang terjangkau oleh masyarakat, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis belaka, apalagi untuk kebutuhan pencitraan politik pemerintah semata, namun semata mata dalam rangka mengangkat derajat kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga BBM paling tidak dalam jangka waktu enam bulan agar tercipta rasa nyaman dan aman di hati masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan kehidupan sehari-hari. ‎