JAKARTA – PT Timah (Persero) Tbk  (TINS), akan mengalokasikan dana sebesar Rp 100 miliar untuk mengembangkan pabrik tanah jarang (rare earth) di Muntok, Bangka Barat. Rencananya, badan usaha milik negara ( BUMN ) ini akan bekerja sama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Pengembangan tanah jarang dilakukan perseroan menyusul keberhasilan dalam skala miniplant.

Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan Timah, mengatakan anggaran yang dikeluarkan akan bertambah apabila dalam produksi tanah jarang ditemukan komoditas turunannya yakni thorium. “Investasi yang kita naikkan Rp 100 miliar, itu adalah untuk membangun pabrik tanah jarang skala lab. Apabila thorium mencapai hasil yang sesuai kita harapkan,  tentunya pembangunannya akan lain lagi,” katanya.

Untuk kerja sama dengan BATAN, kata Agung, dalam hal mengurus perizinan serta terkait teknologi pengembangan mineral tanah jarang.”Tapi tidak menutup kemungkinan kerja sama dengan yang lain juga mengenai teknologinya. Tapi BATAN ini ahli juga tanah jarangnya,” katanya.

Agung menekankan bahwa tanah jarang ini akan menjadi masa depan perseroan, karena harganya akan lebih bagus ketimbang mineral logam timah. “Mineral tanah jarang itu hasilnya bisa 10 kali lipat dari harga timah itu sendiri. Jadi kalau ini berhasil, tentunya ini akan menjadi masa depan kita. Tapi memang kalau sesuatu yang bagus itu banyak kompetisinya, jadi kita jangan berharap yang wah dulu,” katanya.

Menurut Purwijayanto, Direktur Timah, saat ini pihaknya sedang mengevaluasi desain. Poses konstruksi akan dilakukan bila evaluasi desain selesai.”Rare earth rencana konstruksinya di 2017. Tapi kalau evaluasi desain selesai tahun ini, maka bisa langsung konstruksi,” ujarnya.

Tunda Myanmar

Sementara itu, lantaran harga timah yang masih melemah perseroan akhirnya menunda rencana eksplorasi dan pembangunan pabrik di Myanmar. “Kerja sama dengan Myanmar sementara kita tinggalkan dulu. Kita postpone, rencana eksplorasi, membangun pabrik. Karena keadaanya juga tidak mendukung,” kata Agung.

Menurut Agung, regulasi, iklim-iklim di Myanmar juga belum cocok bagi perseroan untuk mengembangkan usaha. “Kita memang sudah masuk di Myanmar,  tapi di lautnya, itu sudah lama. Kemudian kita ingin masuk di darat, tapi daerah nya masih belum cocok,” kata dia. (RA)