JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meragukan ketersediaan pasokan batu bara nasional untuk mendukung proyek pengembangan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). Supriatna Sahala,  Direktur Eksekutif APBI,  mengatakan anjloknya harga batu bara memicu perusahaan batu bara dalam negeri untuk memangkas produksinya.

“Dengan harga yang sangat rendah diragukan perusahaan batu bara dapat menyuplai untuk kebutuhan, katakanlah 30-40 tahun yang akan datang,” kata dia di Jakarta, Senin.

Pandu Syahrir, Ketua Umum APBI,  mengatakan pada November 2015 lalu, APBI bersama Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) melakukan CEO Gathering, dimana hasil diskusi menyimpulkan adanya kekhawatiran mengenai ketersediaan pasokan batu bara untuk menjamin program kelistrikan tersebut. Hal ini mengingat harga komoditas yang telah turun secara drastis sejak 2012.

Berdasarkan kekhawatiran tersebut dan juga arahan dari instansi terkait, menurut Pandu, APBI berinisiatif melakukan sebuah studi dengan menggandeng konsultan bereputasi internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia untuk mengkaji ketersediaan pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan permasalahan dalam aspek pendanaan dalam rangka pengembangan program kelistrikan nasional.

Kajian dilakukan dengan metodologi survei yang melibatkan 25 perusahaan batu bara dan juga didasarkan pada infomasi-informasi keuangan dan non-keuangan emiten batubara yang terdaftaar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menghasilkan beberapa temuan penting. Hasil survei tersebut, kata dia, mengindikasikan kemungkinan cadangan batu bara nasional dengan mengacu pada pada harga komoditas saat ini tidak cukup untuk memasok 20 GW PLTU program kelistrikan nasional 35 GW selama masa 25 – 30 tahun (rata-rata usia pembangkit berbasis batu bara).

Menurut Pandu, eksplorasi untuk menemukan cadangan baru batu bara relatif terhenti. Tingkat profitabilitas sektor batu bara jatuh pada titik terendah dan pengurangan produksn terpaksa dilakukan secara luas oleh perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki struktur biaya produksi tinggi.

Rata-rata rasio nisbah kupas (stripping ratio) menurun dari 9,7 kali pada 2011 menjadi sekitar 7,5 kali pada 2014. Stripping ratio diestimasi masih akan turun tahun ini.

Perubahan rencana penambangan (mine plan) dengan menurunkan stripping ratio untuk memperbaiki profitabilitas sebagai respon atas penurunan harga batu bara akan mengurangi umur tambang dan cadangan batu bara yang dapat ditambang. Penurunan potensi cadangan batu bara yang dapat ditambang (mineable reserves) akan menurunkan penerimaan Pemerintah dari sektor ini.

Lebih lanjut, kata Pandu, sesuai data Pemerintah yang dirilis oleh Badan Geologi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan batu bara terbukti (proven) sekitar 32,3 miliar ton di 2014.

“Hasil survei kami kepada beberapa perusahaan tambang batubara terbesar anggota APBI mengindikasikan penurunan cadangan batu bara mereka sekitar 29% – 40% yang disebabkan penurunan harga batubara yang signifikan. Dengan demikian, analisa kami mengindikasikan bahwa jumlah cadangan batu bara yang ada hanyalah 7,3 — 8,3 miliar ton pada akhir tahun 2015, jauh di bawah data pemerintah,” ungkap dia.

Pandu menekankan perlunya diperhatikan bahwa indikasi penurunan tidak berdasarkan penilaian dari penilai cadangan eksternal yang independen, dan metode ini merupakan suatu penyederhanaan karena produksi beberapa tahun terakhir dimungkinkan bukan alat prediksi yang akurat untuk jumlah cadangan batu bara.

“Proyeksi awal (preliminary projection) mengindikasikan bahwa cadangan batubara kita akan habis di tahun 2033 — 2036. Hal ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU yang termasuk dalam program kelistrikan nasional 35 GW yang pada umumnya sekitar 25-30 tahun sejak beroperasi komersial,” kata Pandu.(RA)