JAKARTA – Indonesia diperkirakan akan mulai mengalami defisit gas pada 2025. Hal itu terungkap dalam data neraca gas periode 2018-2027.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan dalam neraca gas terbaru proyeksi suplai dan permintaan akan gas di wilayah Indonesia terbagi menjadi enam region atau area.

Pertama adalah Aceh dan Sumatera Utara. Area kedua adalah Sumatera bagian tenggara, Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Area berikutnya Jawa Tengah. Area keempat adalah Jawa Timur. Area kelima, Kalimantan dan Area keenam adalah Maluku dan Papua.

Pemerintah membagi proyeksi dalam neraca terbaru ini ke dalam tiga mekanisme skenario.

Ada beberapa kategori penyerap gas yang digunakan pemerintah. Pertama adalah gas yang disalurkan untuk rumah tangga. Kemudian pupuk dan petrokimia, sektor ketenagalistrikan, lalu industri yang juga dipecah lagi menjadi dua bagian yakni industri retail dan Industri non retail.

Dalam data yang ada proyeksi kebutuhan pada 2025 jika menggunakan skenario kedua adalah 206,5 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) sementara untuk skenario ketiganya 1.072,29 MMSCFD.

Jumlah tersebut akan meningkat pada tahun berikutnya yakni 2026, kebutuhan gas yang harus dipenuhi  antara 673,9 MMSCFD sampai 1.572,43 MMSCFD. Pada 2027, proyeksi defisit gas kembali menurun sekitar antara  442 MMSCFD hingga 1.374,95 MMSCFD.

Menurut Arcandra, Indonesia berusaha meningkatkan penggunaan gas alam. Salah satu cara utamanya adalah dengan mendorong ketersediaan infrastruktur gas. Pemerintah pun mendorong badan usaha untuk meningkatkan investasi di infrastruktur gas sementara pemerintah akan menyediakan suplai gasnya.

“Entitas bisnis bisa mengembangkan infrastruktur dan pemerintah bisa memastikan suplai gas,” kata Arcandra di Gas Indonesia Summit and Exhibition 2018 Jakarta, Rabu (1/8).

Menurut Arcandra, harus diakui bahwa serapan gas domestik masih belum optimal dikarenakan infrastruktur pendukung yang belum berkembang secara baik. Namun, masih ada peluang untuk penambahan produksi gas kedepan yang harus diantisipasi dengan kesiapan infrastruktur. Apabila produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada, baru pemerintah akan membuka keran impor dengan beberapa syarat.

“Kalau seandainya gas domestik tidak bisa memenuhi dalam negeri. Maka pemerintah buka keran impor lewat LNG. Tapi yang jelas kebutuhannya, dan tetap mengoptimalkan produksi (gas) dalam negeri dulu,” tandas Arcandra.(RI)