JAKARTA – Banyak negara di dunia yang saat ini mulai mengurangi pengunaan energi fosil dalam bauran energi. Sejak 2019, International Renewable Energy Agency (IRENA) dan juga International Energy Agency (IEA) sudah membuat roadmap menuju transisi energi penggunaan energi yang rendah karbon pada 2050.

“Karena itulah beberapa negara sudah mengelaborasi masing-masing ke dalam program transisi energi sebagaimana yang diharapkan tiap negara,” ujar Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Kamis (30/4).

Bahkan, kata Surya, beberapa negara sudah menyiapkan strategi untuk menurunkan penggunaan energi fosil yang tinggi karbon ke energi bersih rendah karbon mulai 2035. Hal ini terjadi pada beberapa negara Uni Eropa, terutama negara-negara di kawasan nordic countries.

Sebagai komitmen menciptakan iklim investasi energi baru terbarukan (EBT) yang menarik guna mencapai target sebesar 23% pada 2025, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus melakukan berbagai upaya perbaikan dan penyempurnaan. Hal ini untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan.

Pada Februari 2020 , Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Pembangkit listrik EBT yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2020 antara lain PLTS, PLTB, PLTP, PLTA, PLTBm, PLBg, PLT BBN, PLTA Laut, PLTA Waduk PUPR, dan PLT EBT Hibah.

“Di kawasan Asia, Jepang adalah negara paling agresif dengan prgram transisi energi. Mereka adalah pendukung Kyoto Protokol pada 2000-an dan ketika berakhir programnya juga masih dilanjutkan dengan program JCM (Join Crediting Mechanism) yang juga mendukung pengembangan energi rendah karbon,” tandas Surya.(RA)