Baju garis-garis warna hijau army dengan kerudung oranye model diikat ke belakang menutup tubuh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. Insinyur jebolan Institut Teknologi Bandung itu  tampil anggun di Ballroom Gedung Pertamax, Grha Pertamina, Jakarta Pusat, pada Kamis (3/11/2022). Terlihat juga di ruangan yang resik itu sejumlah petinggi Pertamina, antara lain Direktur Keuangan Emma Sri Martini serta  Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Atep Salyadi Dariah Putra. Tak ketinggalan tentunya jajaran direksi dan komisaris PT Pertamina Power Indonesia (PPI), Subholding Power, New & Renewable Energy Pertamina selaku yang punya hajat.

Mengusung tema “Let’s Energize & Beyond”, sore itu adalah perayaan ulang tahun ke-6 PPI sekaligus brand transformation menjadi Pertamina New & Renewable Energy (PNRE). Nicke didaulat memberi sambutan dihadapan ratusan audiens sambil lesehan dengan alas duduk warna-warni di lantai dua gedung yang belum genap 24 bulan beroperasi tersebut.

Nicke memberikan taklimat dengan gaya bahasa elegan, bersahaja, dan tentu saja optimistis. Dalam arahannya, poin penting yang disampaikan orang nomor satu di Pertamina itu soal transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Menurut dia, transisi energi global sudah terjadi dan lebih cepat, lalu terjadi pandemi COVID-19, yang diikuti oleh krisis global. “Orang melihat (transisi energi, Red) ini ancaman, tapi kita harus melihatnya sebagai peluang,” ujarnya saat itu.

Pernyataan Nicke tentunya sangat beralasan. Pasalnya, Pertamina sudah menyatakan diri mendukung komitmen Pemerintah Indonesia yang menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Selain tentu saja, komitmen Pemerintah Indonesia untuk perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi hingga 314 juta ton, atau 446 juta ton dengan bantuan internasional.

Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pencapaian nol emisi di Indonesia, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran. Pencapaian tersebut dimulai dengan mengembangkan kebijakan keberlanjutan menyeluruh sehingga Pertamina diakui sebagai perusahaan energi global yang ramah lingkungan (environmentally friendly company), bertanggung jawab pada lingkungan masyarakat (socially responsible company), dan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good governance company). Untuk itu, Nicke Widyawati memimpin langsung Komite Keberlanjutan Pertamina. Tiga direktur perusahaan ditunjuk jadi anggota, yaitu Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha; Direktur Keuangan; serta Direktur Logistik dan Infrastruktur.

Komitmen dan dukungan Pertamina dalam pengembangan energi hijau mendapat respons positif dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Dewan Energi Nasional. Menteri ESDM Arif Tasrif mengatakan transisi energi ini dilakukan dalam beberapa tahap dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan. Peran gas alam dalam konteks energi rendah karbon sangat penting sebagai energi transisi, sebelum dominasi bahan bakar fosil beralih ke energi terbarukan dalam jangka panjang.

Menurut dia, strategi untuk mencapai keseimbangan antara peningkatan produksi minyak dan gas bumi, serta target emisi karbon memerlukan inovasi teknologi rendah emisi, misalnya melalui penerapan CCUS (Carbon Capture, Utilizaton and Storage). Saat ini ada 14 proyek CCS/CCUS di Indonesia, namun semua kegiatan masih dalam tahap studi maupun persiapan. Proyek-proyek itu, sebagian besar ditargetkan onstream sebelum 2030. Beberapa di antaranya proyek Pertamina.

“Saya optimistis industri migas dapat mengatasi semua tantangan dengan menerapkan semua teknologi yang dapat lebih membantu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menuju netralitas karbon melalui kerja sama internasional,” katanya saat memberikan sambutan pada pembukaan 46th IPA Convention and Exhibition di Jakarta Convention Center, Rabu (21/9/2022).

PLTS Atap di atas SPBU Pertamina. (Foto/Dok/Pertamina)

Satya W Yudha, Anggota DEN, mengatakan strategi transisi energi menuju dekarbonisasi ini bertujuan mewujudkan ketahanan energi, kemandirian energi, dan pembangunan berkelanjutan. Selain tentu saja low carbon development and climate resilience dengan potensi emisi dari sektor energi mencapai 1.669 ton CO2e. “Potensi penurunan emisi Gas Rumah Kaca di industri migas, termasuk oleh Pertamina, dapat dilakukan pada kegiatan produksi dari hulu hingga ke hilir,” ujarnya.

Di sektor hulu migas, misalnya. Menurut Satya, SKK Migas menetapkan inisiatif rendah karbon guna menciptakan ekosistem hulu migas yang sejalan dengan target NZE pada 2060. Inisiatif tersebut mencakup enam pilar, di antaranya kebijakan dan regulasi, pengelolaan energi, zero routine flaring, pengurangan emisi fugitive, reforestasi, dan CCS/CCUS.

Tak hanya itu, lanjut Satya, industri migas global juga secara bertahap telah beralih menjadi lebih hijau dengan mengoptimalkan operasional migas, mengimplementasikan teknologi CCUS, menggunakan bahan bakar rendah karbon untuk operasional. “Mereka juga beralih menjadi energy companies seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin, listrik retail, efisiensi dan elektrifikasi layanan,” katanya.

Karena dinilai sebagai pionir dalam proses transisi energi di Tanah Air, tak heran bila Pertamina berperan penting dalam memimpin transisi industri energi Indonesia ke dalam target bauran energi dan pengurangan emisi dalam memastikan keberlanjutan. Semua subholding dan anak usaha Pertamina berkolaborasi untuk transformasi menuju target nol emisi pada 2060 atau bahkan lebih cepat.

Pertamina pun menerjemahkan penerapan energi hijau yang berkelanjutan ke dalam delapan pilar transisi energi. Pertama, peningkatan kilang yang dikelola perusahaan demi menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan. Pertamina menargetkan konstruksi kilang ramah lingkungan dengan kapasitas 60.000-100 ribu ton per tahun bisa terealisasi pada 2025.

Kedua, pengembangan lebih lanjut bioenergi dalam bentuk biomassa dan bioethanol. Pertamina menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit pada 2026, terdiri atas biomassa/biogas 153 MW, bio blending gasoil dan bensin, serta biocrude dari ganggang dan etanol dengan kapasitas 1 juta ton per tahun on stream pada 2025.

Ketiga, mengoptimalkan potensi dan meningkatkan kapasitas panas bumi terpasang. Potensi tambahan kapasitas 600 MW yang akan dikembangkan dalam lima tahun ke depan dari 13 wilayah kerja panas bumi yang dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PNRE. Total kapasitas terpasang pembangkit yang dikelola PNRE hingga September 2022 mencapai sekitar 1,6 GW yang terdiri atas geothermal, surya, dan biogas.

Keempat, komersialisasi hidrogen. Pertamina telah memulai inisiatif pemanfaatan hidrogen hijau di Indonesia. Pertamina ditargetkan menjadi yang pertama di Asia Tenggara menerapkan komersialisasi hidrogen.

Kelima, peran strategis dalam ekosistem baterai yang terintegrasi dan penyimpanan energi di Indonesia. Pertamina ikut berpartisipas dalam perusahaan patungan IBC dengan proyeksi produksi baterai 140 GWh pada 2029. Termasuk di sini adalah pengembangan ekosistem baterai EV, termasuk bertukar-bisnis pengisian.

Keenam, memperkuat gasifikasi terintegrasi kami, membantu pelanggan kami di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri untuk mengurangi emisi. Hal itu dilakukan dengan pengembangan dimethyl ethyl (DME) berkapasitas 5.200 kilo ton per tahun yang diproyeksikan on stream pada 2025.

Ketujuh, di bidang pembangkit listrik, Pertamina terus meningkatkan pemanfaatan proyek energi baru dan terbarukan serta rendah karbon yang memungkinkan perusahaan mengurangi jejak karbon. Pertamina memproyeksikan peningkatan kapasitas pembangkit pada 2020 – 2026, yaitu solar PV 4-910 MW, angin 225 MW pada 2024 dan pembangkit hydro 200-400 MW.

Kedelapan, menerapkan CCUS dalam peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas.

Pengembangan delapan pilar transisi energi Pertamina juga ditopang dari sisi pendanaan. Untuk mencapai target bauran energi 2022-2026, Pertamina menganggarkan belanja modal sebesar US$70 miliar-US$80 miliar. Alokasi terbesar adalah untuk sektor hulu sebesar 45%, hilir 37%, serta gas dan NRE sebesar 14%. Sisanya sebesar 4% untuk portofolio lainnya.

Adapun target bauran energi hingga 2030 diproyeksikan bertambah dari 2,3 metri ton joule pada 2021 menjadi 6,4 metrik joule pada 2030. Ini terdiri atas penurunan produksi kilang dari 81% menjadi 61% (di luar LPG), pengurangan produk kilang LPG menjadi 3% dari 15%, penambahan produksi gas dari 1% menjadi 19% dan NRE bertambah jadi 17%.

Untuk mencapai target bauran energi serta nol emisi, proses transformasi ini dilakukan secara gotong-royong oleh enam sektor bisnis subholding Pertamina, yaitu Upstream melalui entitas bisnis PT Pertamina Hulu Energi; Refining & Petrochemical oleh PT Kilang Pertamina Internasional; Gas oleh PT Pertamina Gas; Commercial & Trading oleh PT Pertamina Patra Niaga; serta Integrated Marine Logistics oleh PT Pertamina International Shipping dan PNRE oleh Pertamina NRE.

Dalam transformasi menuju transisi energi, ke enam subholding Pertamina ini pun memiliki komitmen kuat dalam mengimplementasikan aspek Environment, Social, and Governance (ESG) secara terintegrasi. Mereka mengelola bisnis secara berkelanjutan dan memberikan nilai tambah tidak saja bagi perusahaan tapi juga bagi para pemangku kepentingan

“Pertamina Group merupakan integrated energy company, mulai upsteram, midstream, sampai downstream. Inilah kekuatan Pertamina. Semua saling berkolaborasi dalam transformasi, termasuk si bungsu ini, PNRE,” ujar Nicke.

Dannif Dhanusaputro, CEO Pertamina NRE, mengamini pernyataan Nicke. Kolaborasi dalam transformasi menuju era transisi energi adalah keniscayaan. “Energy transition is a long journey, tapi kita harus bisa melaksanakannya dengan mindset yang baru, harus memiliki cara-cara yang baru karena dalam pengembangan energi baru dan terbarukan ini tantangannya sangat besar,” ujarnya.

Upaya Pertamina menjalankan berbagai program transisi energi menjadi perhatian bagi masyarakat luas. Kerja keras Pertamina melakukan transformasi bisnis menjadi perusahaan energi yang mengedepankan proses berkelanjutan menjadi perhatian. Beragam penghargaan diraih, dari dalam maupun luar negeri. Mereka mengapresiasi prestasi dan kinerja Pertamina, di berbagai sektor: operasi maupun tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tentu saja ini menjadi energi bagi manajemen dan Perwira Pertamina dalam mewujudkan bumi yang lebih hijau melalui program-program yang dijalankan.

Kolaborasi dalam Transformasi adalah kunci bagi Pertamina menuju target nol emisi. (yurika indah prasetianti)