JAKARTA – Persoalan di industri migas tidak lepas dari dua sektor yaitu hulu dan hilir.  Sektor hilir minyak dan gas nasional banyak menjadi sorotan sepanjang 2018, terutama akibat derasnya impor minyak. Impor inilah yang dinilai menjadi biang kerok defisit transaksi berjalan.

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan pada tahun ini fokus ke sektor hilir, padahal perlu ada pembenahan serius di sektor hulu sebagai fondasi pengembangan industri migas nasional.

Terus merosotnya produksi migas nasional dan pengolahan yang terbatas seharusnya disadari pemerintah, karena dampak dari masalah di hulu akan berdampak pada sektor hilir. Ini terbukti, pada tahun-tahun sebelumnya tidak ada upaya keras untuk bisa mengundang investasi. Hasilnya, impor minyak nasional terus meningkat karena produksi menurun dan pengembangan  kapasitas pengolahan minyak jalan di tempat.

Defisit yang disebabkan impor migas tahun ini terbilang cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit migas US$1,5 miliar. Secara komulatif dari Januari hingga November 2018, BPS mencatat defisit migas mencapai US$ 12,153 miliar atau setara dengan Rp176,2 triliun.

Pemerintah pun sedikit terlihat panik dengan terus membengkaknya defisit migas tahun ini. Alhasil, kebijakan perluasan penggunaan B20 pun dipercepat dan diimplementasikan sejak 1 September 2018.

“Pada 2018 industri migas fokus ke hilir lebih banyak daripada kilang maupun ke hulu. Malah lebih fokus ke impor BBM. Sesungguhnya kilang ekspansi di mana-mana sudah harus berjalan di dalam anggaran pemerintah, tertunda dan malah keluar kebijakan tiba-tiba B20,” kata Achmad saat dihubungi Dunia Energi, Senin (31/12).

Menurut Achmad, beban di sektor hilir migas tidak dipungkiri akan langsung berdampak kepada PT Pertamina (Persero). Padahal ada sektor hulu yang harus diurus dan dikembangkan juga, karena ujungnya nanti akan memberikan dampak positif di hilir. “Pertamina yang segitu besar kapasitasnya tidak perlu banyak urus BBM,” tukasnya.

Beberapa langkah yang harusnya menjadi fokus kedepan adalah serius dalam pembangunan kilang minyak terintegrasi dengan industri petrokimia.

Selain itu, memanfaatkan energi alternatif selain minyak juga harus menjadi pilihan kebijakan perseroan. Optimalisasi holding BUMN migas dalam hal ini subholding gas melalui integrasi infrastruktur seharusnya bisa memberikan solusi untuk mengurangi penggunaan solar dan beralih ke gas.

“Fokus optimalkan FSRU yang sudah ada buat industri utilisasi, Pertamina wajib fokus impor solar dan manfaatkan Liquefied Natural Gas (LNG),” papar Achmad.

Pemerintah sendiri mengklaim sektor hulu migas tidak benar-benar dilupakan. Dengan mengandalkan skema kontrak terbaru gross split kini sudah ada 14 kontrak yang menggunakan skema racikan Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM. Pemerintah semakin sumringah karena ENI Indonesia sampai rela meminta perubahan kontrak blok East Sepinggan menjadi gross split dari cost recovery. Total kontrak gross split dari lelang blok migas dari tahun 2017-2018 adalah 14 blok migas.

Komaidi Notonegoro, Direktur Reforminer Institute, mengatakan hulu migas patut mendapatkan perhatian. Salah satu yang harus dibenahi untuk bisa menggenjot iklim investasi adalah masih berkutat pada masalah regulasi dan prosedur dalam berinvestasi.

Iklim investasi industri migas tidak benar-benar bisa dibilang membaik ataupun meningkat karena masih butuh waktu untuk membuktikan.

Komaidi,  menilai beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian teknis seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa diapresiasi.

“Saya kira sudah ada beberapa perbaikan meskipun belum terefleksikan secara langsung dalam peningkatan investasi yang signifikan,” kata Komaidi.

Menurut Komaidi, Kementerian ESDM terlihat berusaha merampingkan prosedur untu mendorong investasi migas, termasuk beberapa regulasi yang diidentifikasi menjadi penghambat juga diantaranya dibatalkan. Tapi sayangnya, prosedur dalam berinvestasi tidak hanya diurus di Kementerian ESDM, tapi juga ada beberapa kementerian lainnya.

Ini tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah kedepan, bagaimana integrasi dari sisi penyederhanaan prosedur harus bisa terjadi disesuaikan kementerian dan lembaga terkait.

“Upaya perampingan baru terlihat pada satu instansi, yaitu Kementerian ESDM. Sehingga masih terdapat PR di dalam proses perizinan di 16 kementerian atau lembaga yang lain,” tandas Komaidi.(RI)