JAKARTA – Produksi minyak Blok Rokan saat berakhirnya kontrak PT Chevron Pacific Indonesia pada Agustus 2021 diproyeksi hanya sebesar 160 ribu barel per hari (bph), dengan asumsi tidak ada investasi saat masa transisi. Padahal saat pemerintah memutuskan pengelolaan Blok Rokan pasca berakhirnya kontrak Chevron kepada PT Pertamina (Persero) pada 2018, produksi Rokan masih mencapai 211 ribu bph.

“Artinya bisa terjadi penurunan produksi minyak sebesar 51 ribu bph, saat Pertamina mengambil alih pengelolaan Rokan,” ujar Arie Gumilar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Kamis (6/2).

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 31 Juni 2018 telah memutuskan pengelolaan Rokan diserahkan ke Pertamina, setelah proposal Pertamina disetujui.
Namun Chevron saat ini hanya memberi ruang Pertamina untuk masuk dan berinvestasi di Rokan lebih awal apabila mengakuisisi atau membeli hak partisipasi (participating interest/PI) yang dikuasai Chevron dan menanggung seluruh komponen liabilitas (beban-beban biaya) atau Clean Break Exit.

Menurut Arie, kondisi demikian tentunya berbahaya bagi ketahanan energi bangsa. Pemerintah diminta untuk tidak membebankan keharusan mengakuisisi atau membeli hak partisipasi Chevron kepada Pertamina yang hanya berumur hingga 8 Agustus 2021.

Pemerintah harus hadir dalam proses transisi dan memastikan terlaksananya investasi tanpa ada prasyarat yang harus ditanggung, karena pada dasarnya Pertamina telah memenuhi kewajiban pembayaran signature bonus kepada pemerintah sebagai pemegang kuasa tambang.

“Untuk menutupi kekurangan akibat penurunan produksi, nantinya pemerintah harus impor minyak. Padahal Presiden Jokowi sudah memerintahkan untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan dengan mengurangi impor,” tandas Arie.(RA)