JAKARTA – Keberadaan smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) cukup mendesak. Pasalnya, impor alumina yang dilakukan oleh PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) masih sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.

Danny Praditya, Direktur Operasi dan Portfolio MIND ID, menyatakan Inalum tercatat masih melakukan impor mencapai 500 ribu ton per tahun untuk pemenuhan bahan bakunya.

“Inalum saat ini ada ketergantungan impor alumina satu tahun sekitar 500 ribu ton dari India dan Australia,” ungkap Danny, dalam RDP Komisi VII DPR RI, Senin (21/3).

Menurutnya, dengan kondisi tersebut maka SGAR di Mempawah, Kalimantan Barat, amat dibutuhkan dan bisa jadi solusi mengatasi tingginya impor barang. Smelter yang direncanakan berkapasitas 1 juta ton ini bakal mengatasi permasalahan impor. Bahkan, Indonesia berpotensi mengekspor 500 ribu ton alumina setelah fasilitas pengolahan itu beroperasi penuh. .

Proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) kebanggaan Presiden Joko Widodo dipastikan penyelesaiannya bakal mundur jauh dari target. Semula, smelter milik Inalum dan Antam ini ditargetkan beroperasi pada Juli 2023. Saat ini,  proyek ini baru mencapai 13,78% dari rencana 71,73% sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Salah satu penyebabnya adalah konsorsium yang ditunjuk oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) untuk membangun smelter ditengah jalan mengalami dispute (perselisihan).

Dante Sinaga, Direktur Utama BAI  sebagai perusahaan yang mendapatkan mandat untuk membangun smelter tersebut, mengungkapkan lambatnya pembangunan smelter diakibatkan oleh adanya masalah antara anggota konsorsium proyek yakni China Alumunium International Engineering Co.Ltd (Chalieco) dan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk.

Masalah utama yang menjadi halangan berlanjutnya proyek adalah dispute internal konsorsium terkait perbedaan dalam biaya pengerjaan penyiapan lahan sehingga procurement jadi sangat terlambat untuk direalisasikan.

“Ini utamanya memang disebabkan oleh progress dari procurement yang sangat terlambat. Procurement terlambatnya 47,75% memang ini terkait satu sama lain karena engineering membutuhkan data procurement. Kalau procurement tidak ada maka data-data barang yang akan dibeli tidak bisa disuplai jadi engineering jadi terkendala juga,” kata Dante. (RI)