JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah membuat komitmen kuat untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di dalam total bauran energi nasional hingga 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Paris yang mengharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 atau 41% dengan bantuan internasional.

“Akan tetapi, total presentase energi baru terbarukan di dalam total bauran energi nasional masih 13%. Ke depan, tanpa perubahan yang signifikan, Indonesia tidak akan bisa mencapai target 23% energi baru terbarukan pada 2025,” kata Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kepada Dunia Energi, Rabu (2/1).

Porsi EBT di pembangkit listrik Indonesia juga masih rendah. Total kapasitas yang sudah terpasang di Indonesia sekitar 62 ribu megawatt (MW), sebesar 8.500 MW merupakan energi baru terbarukan (13,71%).

“Untuk sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk memenuhi semua permintaan listriknya melalui penggunaan energi baru terbarukan (total kapasitas 788 GW), ini mengecewakan dan sampai sekarang masih ada beberapa faktor yang menghalangi proyek-proyek energi baru terbarukan di Indonesia,” ungkap Surya.

Dia mengatakan, investasi energi adalah proyek jangka panjang, sekitar 20 tahun, dan memerlukan pembiayaan jangka panjang. Harga pembelian listrik juga terlalu rendah bagi para pengembang EBT untuk pulih dari biaya-biaya yang ditimbulkan. Apalagi, pemerintah Indonesia memberlakukan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 yang membatasi harga pembelian listrik paling tinggi sebesar 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Keputusan Menteri ESDM 1772/20/MEM/2018 saat ini menetapkan BPP nasional pada Rp 1.025/kWh, atau US$0,0766/kWh, sedangkan BPP lokal berkisar dari Rp911/kWh (US$0,0681/kWh) hingga Rp 2.677/kWh (US$0,2/kWh).

Menurut Surya, di negara yang berkembang seperti Indonesia, ada banyak ketidakpastian terutama ketika sering terjadi perubahan kebijakan, keterlambatan peraturan, dan penerapan kebijakan pemerintah yang kurang masuk akal terkait energi baru terbarukan.

“Ini semua telah mengurangi kepercayaan investor dan meningkatkan risiko pengembangan proyek,” kata dia.

Perubahan-perubahan tersebut dapat meningkatkan biaya pengembangan proyek. Kerugian lain untuk investor EBT adalah bahwa harga sistem yang baru tidak memperhitungkan manfaat lingkungan dari energi baru terbarukan (eksternalitas positif) dan cenderung mendukung bahan bakar fosil.

Dia menambahkan, adapula beberapa faktor teknis yang menyebabkan kurangnya peningkatan penggunaan EBT di Indonesia seperti tenaga surya dan tenaga angin yang intermiten, adanya banyak sekali jaringan yang tersebar di seluruh pulau-pulau di Indonesia, kurangnya lahan yang tersedia dekat dengan pusat populasi, dan terbatasnya kapasitas jaringan listrik.

“Penghalang terakhir adalah dukungan dan pengaruh dari pemangku-pemangku yang penting di sektor energi baru terbarukan,” tandas Surya.(RA)