JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus Rp14 ribu yang bersamaan dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia akan meningkatkan beban keuangan PT Pertamina (Persero). Padahal disisi lain, pemerintah telah menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar tidak naik hingga 2019.

Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan berbagai asumsi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sudah tidak relevan dengan kondisi terkini. Untuk itu pembahasan revisi harus segera dilakukan.

“Asumsi APBN 2018 harus diseriusi pemerintah dan dibahas kembali dengan DPR terkait asumsi makro,” kata Herman kepada Dunia Energi, Rabu (9/6).

DPR, kata dia, juga telah menerima surat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membahas pemberian tambahan subsidi untuk Solar. Namun jumlah yang diajukan harus dikaji ulang karena dinilai belum cukup untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk menjalankan berbagai penugasan.

“Solar yang sebelumnya Rp500 per liter menjadi Rp1.000 per liter. Namun itu tidak akan cukup meringankan beban keuangan Pertamina yang masih menanggung harga penugasan Premium, BBM satu harga, dan pembatasan kenaikan untuk jenis BBM lainnya,” ungkap Herman.

Selain harga Premium dan Solar yang tidak disesuaikan, perubahan harga BBM nonsubsidi juga harus mendapat persetujuan pemerintah.

Menurut Herman, seharusnya pemerintah memberikan opsi yang lebih proporsional dibanding membiarkan Pertamina menanggung beban harga.

“Yakni dengan menempatkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau penugasan dan harga supaya tidak naik, pakai mekanisme subsidi di APBN,” katanya.

Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan dampak utama dari kondisi yang terjadi sekarang adalah pada neraca migas yang berpotensi defisit semakin besar. “Dengan model kebijakan nilai tukar yang digunakan saat ini ruang untuk pemerintah dapat berbuat banyak menjadi lebih sempit,” kata dia.

Dampak lainnya yang pasti akan dirasakan selain pada BBM adalah pada subsidi LPG yang akan semakin besar. Pemerintah pada kondisi sekarang juga menghadapi dilema karena disaat yang bersamaan posisi cadangan devisa semakin tergerus, akibatnya intervensi berupa subsidi juga bakal terbatas.

“Jika akan diintervensi memerlukan ketersediaan cadangan devisa yang besar. Sementara sama-sama kita ketahui cadangan devisa kita masih terbatas,” tandas Komaidi.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, sebelumnya mengatakan belum ada kepastian berapa besaran subsidi yang ditambah, namun nilainya sekitar Rp500–Rp1.500 per liter. Saat ini kuota Solar sebesar 7,5 juta kiloliter (KL). Jika subsidi ditambah sebesar Rp500 per liter maka dana yang dibutuhkan sebesar Rp3,5 triliun.
“Kalau misalnya subsidi jadi Rp1.000 per liter, berarti subsidinya kami tambah Rp3,5 triliun lagi. Kalau misalnya jadi Rp1.500, ya tambah Rp7 triliun. Masih dihitung,” kata Djoko.(RI)