JAKARTA – Indonesia dinilai masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan meski berkomitmen untuk meningkatkan aksi iklim dan mencapai target Perjanjian Paris agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celcius.
Institute for Essential Services Reform (IESR) berpandangan subsidi energi fosil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini.
Di masa awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya US$318,84 miliar untuk menyokong energi fosil. Sementara Indonesia, menurut catatan Climate Transparency 2021, telah menghabiskan US$8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik.

“Indonesia sempat berhasil melakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik pada 2014-2017, tapi masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang cukup besar. Subsidi energi naik 27% pada kurun waktu 2017-2019,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Jumat (12/11).

Menurutnya, pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) dan dekarbonisasi, tetapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran, dan membuat energi terbarukan sukar bersaing.

Fabby mengatakan, penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak.

“Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Sebaliknya reformasi dilakukan dengan diikuti dengan pengumpulan dan pemanfaatan basis data keluarga miskin dan skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran,” kata Fabby.

Ia berpendapat bahwa penetapan kebijakan harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PT PLN (Persero) merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah.
“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batubara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040. Pada tahun 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batubara tanpa teknologi CCS/CCUS dikurangi menjadi nol. Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai US$25 miliar per tahun hingga 2030, dan akan meningkat tajam setelahnya menjadi US$60 triliun per tahun.

“Subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara karena adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim. Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025,” ungkap Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau IESR.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinan Indonesia di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan terhadap energi fosil.

“Komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah US$100 miliar sampai dengan tahun 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau. Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan,” ujar Lisa.

Menurutnya, setiap kebijakan finansial yang mengarah pada dukungan terhadap energi fosil harus mendapat perhatian dan diinventarisasi secara ketat oleh Global Stocktake (GST) sebagai bagian pengawasan aksi iklim yang tidak terpisahkan dari Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan Independent Global Stocktake (iGST), sebuah konsorsium masyarakat sipil untuk mendukung GST, justru GST dapat menawarkan platform bagi negara-negara untuk berkolaborasi dalam mereformasi subsidi konsumsi bahan bakar fosil dan mendorong proses transisi berkeadilan.

Lisa menekankan, informasi yang diinventarisasi ke dalam GST harus juga memasukkan elemen sosial di dalamnya sehingga tujuan pendanaan ikim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan inklusif sosial dapat tercapai.
“Proses GST ini harus mengikutsertakan organisasi yang mewakili elemen ekonomi, lingkungan, energi, dan sosial terutama isu gender dan masyarakat rentan lainnya untuk menjamin transisi berlangsung secara berkeadilan,” ujar Lisa.(RA)