JAKARTA – PT Pertamina (Persero) kembali harus bersabar untuk menikmati produksi minyak dari hasil kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan injeksi bahan kimia. Salah satu penerapan EOR paling maju Pertamina di Lapangan Tanjung, Kalimantan Selatan harus mengalami kemunduran.

Kali ini kesalahan bukan karena kesiapan Pertamina, melainkan karena pasokan bahan baku kimia yang akan diinjeksikan ke reservoir yang tidak ada. Kimia surfaktan yang akan digunakan tidak lagi diproduksi sang produsen. Padahal penggunaan bahan kimia ini tidak sembarangan dan harus melalui berbagai uji coba untuk mengetahui cocok atau tidaknya digunakan di lapangan Tanjung.

Andi W Bachtiar, Project Expert – Development and Production Pertamina Hulu Energi (PHE) atau Subholding Upstream Pertamina, mengungkapkan surfaktan yang digunakan di Tanjung adalah Internal Olefin Sulfonate (IOS) yang diproduksi oleh Shell. Tapi sayangnya perusahaan asal Belanda itu tiba-tiba menghentikan produksi IOS.

Menurut Andi, kebijakan Shell itu cukup membingungkan padahal Shell yang paling banyak punya jenis atau tipe surfaktan karena mereka memiliki chemical plant, sehingga otomatis produknya banyak sekali.

“Yang mengherankan banhwa Shell telah hentikan produksi IOS. Padahal dia yang paling unggul saya juga bingung. Kalau unggul gampang memasarkannya tapi berhenti,” kata Andi disela diskusi yang digelar oleh SBRC – IPB dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) bertajuk Tantangan dan Peluang Implementasi Surfaktan untuk Industri Perminyakan, Sabtu (14/8).

Andi menuturkan produk IOS dari Shell ini digunakan di Lapangan Tanjung pada saat pilot project. Dari hasil uji coba tersebut, IOS Shell dinilai paling cocok untuk disusupkan ke dalam sumur guna menguras sisa cadangan minyak yang ada di Tanjung.

“Kita sudah pilih beberapa surfaktan kita uji cobakan dan punya Shell ini paling unggul untuk digunakan di Tanjung,” ungkap dia.

Dengan tidak adanya pasokan surfaktan tersebut maka rencana penerapan EOR dengan skala penuh menjadi tertunda. Andi menjelaskan tim di Tanjung harus kembali mencari surfaktan yang cocok untuk sumur-sumru di lapangan Tanjung.

“Jadi kami  balik lagi ke nol.  Kami pilih lagi surfaktan yang ada di dunia baik lokal atau internasional. Kami  pilih lagi mana yang paling cost effective. Agak aneh memang melihat mereka berhenti memproduksi IOS,” kata Andi.

Lapangan Tanjung tadinya dikelola oleh PT Pertamina EP sebelum terjadi perubahan di tubuh Pertamina. Andi yang sebelumnya juga di Pertamina EP pernah menjelaskan rata-rata cadangan minyak yang tersisa di Tanjung bisa mencapai sekitar 300 juta – 700 juta MMSTB.

Pilot project di Lapangan Tanjung sudah dilakukan sejak akhir tahun 2018 yang rencananya selesai pada akhir tahun ini dengan total kebutuhan dana hanya mencapai US$4 juta. Ini berbeda jauh dengan pilot project yang pernah juga dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia di Lapangan Minas, PT Medco Energi Rimau di Lapangan Kaji-Semga serta CNOOC di Widuri yang biayanya bahkan diatas US$100 juta.(RI)