JAKARTA – Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif (SP FKPPA) menolak pembentukan holding – subholding dan privatisasi subholding migas melalui initial public offering (IPO). Serta menuntut agar Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN No. SK-198/mbu/06/2020 tersebut segera dicabut.

Nur Hermawan, Ketua Umum SP FKPPA, mengatakan instruksi Menteri BUMN untuk pembentukan holding dan subholding migas merupakan langkah awal privatisasi PT Pertamina (Persero). Hal tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 terutama ayat 2 dan 3 yang sudah sangat jelas menyebutkan bahwa negara memiliki kekuasaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Pembentukan holding dan subholding migas dan rencana IPO juga tidak sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dimana penguasaan oleh negara wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, dan Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam secara tegas dilarang untuk diprivatisasi,” kata Nur, Jumat (3/7).

Nur menekankan, kondisi tersebut harus disikapi karena pembentukan holding dan subholding migas adalah akal-akalan agar bisa melakukan IPO pada kegiatan Pertamina yang tidak mungkin dilakukan pada induk usaha, maka dipecahlah bisnis-bisnis utama menjadi subholding agar bisa dijual, dan sangat berpotensi dimiliki oleh asing (seperti Telkomsel sebagai anak perusahaan Telkom yang 35% sahamnya dimiliki Singtel yang merupakan perusahaan asing berasal dari Singapura).

Apabila ini terjadi pada sektor energi, maka sudah sangat jelas mengebiri kedaulatan energi Indonesia.

“Pembentukan holding dan subholding migas bukannya bertujuan untuk efisiensi bahkan menambah beban biaya dengan banyaknya direksi dan komisaris pada perusahaan subholding dan sub–subholdingnya, serta setiap transaksi antar perusahaan akan dikenai pajak yang mengakibatkan biaya tinggi dan berujung naiknya harga jual di pasaran,” ungkap Nur.

Pemisahaan unit bisnis dari hulu ke hilir menjadi perusahaan yang terpisah-pisah akan membentuk silo-silo yang semakin menyulitkan koordinasi operasional antar unit dan membuat benturan kepentingan bisnis antar subholding karena masing-masing memiliki KPI dan target profit yang harus tercapai.

Komposisi direksi Pertamina yang di dalamnya hanya terdapat direktur utama, direktur SDM, direktur keuangan, direktur penunjang bisnis, direktur logistik & infrastruktur serta direktur strategi, portofolio, dan pengembangan bisnis. Tidak ada direktur hulu, direktur pengolahan ataupun direktorat pemasaran yang merupakan inti bisnis Pertamina. Dengan demikian direksi
holding Pertamina bisa diisi dengan orang yang tidak paham bisnis migas, sehingga keputusan-keputusannya justru bisa membahayakan perusahaan.

Struktur organisasi subholding akan mengabaikan peran negara dalam mengkontrol kebutuhan energi masyarakat, karena kendali ada pada swasta/publik selaku pemegang saham dan berlaku hukum pasar.

Nur menambahkan, dampak kerugian yang paling besar justru akan dirasakan oleh rakyat Indonesia yang seharusnya memiliki 100% saham dan kontrol atas Pertamina. Harga jual BBM dan elpiji semakin tidak terkendali dan tidak terjangkau oleh masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut SP FKPPA meminta kepada Presiden Joko Widodo c.q Menteri BUMN untuk mencabut dan membatalkan serta menghentikan pembentukan holding – subholding dan IPO Pertamina.

“Saat ini, kami seluruh aktivis SP FKPPA yang berada di darat, laut dan seluruh nakhoda bersama crew kapal m

ilik Pertamina dalam status siaga satu. Apabila permintaan kami tidak dihiraukan oleh pengambil kebijakan, maka kami siap mengambil langkah-langkah aksi industrialisasi dibawah komando Federasi serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB),” tandas Nur.(RA)