JAKARTA – Kasus dugaan korupsi yang menimpa Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dinilai penuh kejanggalan dan salah satu bentuk kriminalisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Arie Gumilar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina (FSPPB), mengatakan ada beberapa undang-undang yang menaungi Pertamina sebagai korporasi, BUMN, keuangan negara juga tindak pidana korupsi. Dalam perjalanannya terjadi inkonsistensi implementasi undang-undang sehingga menjadi celah untuk mengkriminalisasi pejabat BUMN, dan ini sudah terlihat pada kasus Karen dan beberapa pekerja Pertamina lainnya.

Pada Pasal 3 UU Tipikor telah dikonstruksi secara sederhana. Karena investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia  “dianggap” rugi, maka telah terjadi kerugian keuangan negara (UU Keuangan Negara). Akibatnya, negara pun berhak menuduh para terdakwa korupsi (UU Tipikor).  Pasal 3 ini pun telah menjerat Ferederick Siahaan (mantan direktur keuangan) dan Bayu Kristanto (mantan manager M&A) dengan vonis 8 tahun penjara dan denda uang sebesar Rp1 miliar dan subsider 4 bulan.

“Dengan ditetapkannya dua orang mantan direksi, seorang kepala hukum dan seorang manajer Pertamina sebagai terdakwa, timbul rasa cemas bagi pengurus dan anggota Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Pasalnya, hal serupa akan terjadi terhadap para pejabat maupun pekerja Pertamina yang hendak melakukan aksi atau tindakan korporasi dengan itikad baik,” kata Arie dalam diskusi bertajuk Paradoks BUMN: Binis Harus Selalu Untung” di Jakarta, Rabu (8/5).

Menurut Arie, apabila hal tersebut dibiarkan, maka iklim berinvestasi di BUMN akan menjadi buruk. Akibatnya, pejabat, direksi atau pekerja BUMN akan takut mengambil keputusan untuk berinvestasi guna mencapai maksud dan tujuan dari pendirian sebuah BUMN.

Hal inilah yang mendorong FSPPB mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi.

“Kami menolak secara tegas atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, karena dapat mengakibatkan tindakan kriminalisasi terhadap jajaran direksi Pertamina. Permohonan uji materiil atas kedua pasal tersebut telah kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2019 lalu,” ungkap Arie.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi BMG. Kejagung menduga investasi 10% saham pada Blok BMG tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Petamina.

Atas keputusan investasi di Blok BMG, Karen dituduh telah merugikan negara sekitar Rp586 miliar. Berdasarkan hasil audit oleh BPK kala itu, Pertamina justru tidak mengalami kerugian atau tidak ada kerugian negara pada investasi tersebut. Kejagung sendiri memperoleh angka kerugian negara berdasarkan perhitungan oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP).

Dian Puji N. Simatupang, pakar hukum keuangan publik, mengungkapkan bahwa status keuangan dan kekayaan BUMN sebagai keuangan dan kekayaan negara adalah sebuah paradoks yang paling parah di Indonesia. Ada inkonsistensi logika hukum ketika menerjemahkan keuangan dan kekayaan BUMN sebagai keuangan dan kekayaan negara.

“Jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, mengapa cara mengelolanya berbeda, mengapa tidak menggunakan cara atau pola APBN? Sementara, keuangan dan kekayaan BUMN dalam hal tuntutan kewajibannya tidak pernah menjadi beban APBN,” ujar Dian.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengatakan, bisnis di sektor migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, namun juga berpotensi menimbulkan kerugian yang besar. Jika kebijakan dan pengambilan keputusan oleh manajemen Pertamina atas investasi Blok BMG telah melewati proses yang berlaku umum dan sesuai pula dengan AD/ART perusahaan, maka risiko yang timbul setelahnya merupakan hal yang patut diterima dan dimaklumi.

Pengambilalihan hak partisipasi (Participating Interest/PI) Blok BMG merupakan inisiatif perseroan saat itu dalam rangka meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah yang sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009. Sebagaimana di ketahui, Pertamina diwajibkan untuk menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. “Artinya, perbuatan tersebut adalah dalam rangka penugasan pemerintah untuk mengamankan pasokan BBM nasional dan merupakan bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi,” kata Marwan.

Selain itu, keputusan untuk mengambil alih hak partisipasi Blok BMG merupakan pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip tersebut merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Perlu diketahui ketentuan Pasal Pasal 92 dan Pasal 97 UU No.40/2007 tentang PT terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan.

Terkait dengan unsur kerugian Negara, pada dasarnya kalkulasi kerugian yang didasarkan pada Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno, Ak. No. 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017, sebenarnya tidak pernah menyatakan sebagai laporan perhitungan keuangan negara.

Secara yuridis, kewenangan untuk menyatakan kerugian keuangan Negara sesuai Undang-Undang No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No.15/2004), Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) dan (2) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara juga harus menggunakan standar pemeriksaan yang disusun oleh BPK.

Dalam butir 6 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga diatur bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional.

Instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Kantor Akuntan Publik tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.

Faktanya, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dalam investasi Pertamina berupa PI di Blok BMG telah menimbulkan adanya kerugian negara. Bahkan di dalam hasil laporan auditnya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut.

“Dengan demikian, surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK, merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat dan harus ditolak,” ungkap Marwan.

Menurut Marwan, kriminalisasi risiko korporasi dalam akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur penegakan hukum Indonesia. “Tampaknya peradilan sesat telah terjadi pada kasus Blok BMG ini,” kata Marwan.(RI)