ENERGI bersih sudah menjadi keniscayaan yang tidak bisa lagi dihindari. Menyadari hal itu PT PLN (Persero) memastikan akan ikut ambil bagian dalam mendorong penyediaan energi yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RPJPP), PLN menargetkan kapasitas pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 12,8 Giga Watt (GW) pada 2024.

Sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan kapasitas EBT dapat mencapai 16,3 GW pada 2024. Sementara dalam target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2025 kapasitas EBT diproyeksikan dapat mencapai 19,9 GW. Untuk melaksanakan mandat nasional tersebut berarti dibutuhkan insiatif untuk penambahan 3,5 GW pada 2024 dan 7,1 GW pada 2025.

Manajemen telah mengidentifikasi tiga rangkaian insiatif untuk mengejar target tersebut, yakni implementasi RJPP, meluncurkan green booster, dan membangun EBT skala besar.

Green booster akan dilakukan salah satunya melalui co-firing biomassa, program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (dediselisasi), dan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan memanfaatkan bendungan-bendungan yang sudah ada untuk membangkitkan listrik, serta pemanfaatan lahan bekas tambang untuk membangun PLTS.

Muhammad Ikbal Nur, Direktur Perencanaan Korporat PLN, mengakui untuk mengejar target bauran EBT 23% pada 2025 adalah sebuah pekerjaa besar dimana pada saat ini realisasinya baru mencapai 11%. Salah satu cara yang ditempuh PLN untuk mengejar target tersebut adalah dengan menggenjot penggunaan co-firing biomassa sebagai bahan baku alternaif pengganti batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Bagi PLN, co-firing biomassa juga tidak memerlukan investasi besar seperti membangun pembangkit listrik. PLN hanya perlu mengalokasikan tambahan biaya operasi atau Operational Expenditure (Opex).

“Dari semua komitmen kami adalah co-firing biomassa bisa kita masukan, bisa ke PLTU eksisting blanded dengan PLTU Batu Bara untuk capai 23% tahun 2025,” kata Ikbal belum lama ini.

Keseriusan PLN untuk menjadikan co-firing sebagai andalan untuk mengejar target EBT adalah dengan mencari kepastian pasokan biomassa sebagai bahan baku. Maklum saja keberlanjutan pasokan bahan baku selama ini jadi biang kerok tidak optimalnya co-firing biomassa untuk PLTU.

Pada awal tahun ini PLN telah menandatangani nota kesepahaman dengan Perum Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III tentang kerjasama penyediaan biomassa untuk PLTU.

Baik Perhutani maupun PTPN III sama-sama memiliki keunggulan ketersediaan lahan yang luas untuk ditanami berbagai macam tanaman energi sebagai bahan baku biomassa.

M Ikhsan Asaad Direktur Mega Proyek PLN menyatakan hingga awal Januari 2021 ini, pihaknya telah melakukan uji coba co-firing biomassa pada 32 PLTU. Jumlah tersebut sudah lebih dari setelah target penerapan co-firing biomassa di 52 PLTU hingga 2024 yang ditargetkan PLN dengan total kapasitas 18.154 MW potensi yang diterapkan co-firing biomassa.

Sudah ada enam PLTU yang implementasikan co-firing biomassa secara komersial. ” PLTU Paiton, Pacitan, Jeranjang, Suralaya 1 – 4 , Sanggau Kalimantan Barat dan Ketapang. 2021 kami rencanakan 17 lokasi , 17 PLTU,” ujar Ikhsan,” kata Ikhsan.

Pemanfaatan co-firing biomassa di PLTU sendiri sudah ada dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038. Berdasarkan kalkulasi PLN untuk memenuhi kebutuhan 1% cofiring di PLTU di Indonesia, maka dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari atau 5 juta ton wood pellet ton per tahun, ekuivalen dengan 738 ribu ton per tahun pellet sampah.

Saat ini terdapat tiga tipe PLTU yang bisa diterapkan co-firing biomassa yakni, 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari.

Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah atau hasil hutan berupa kayu. Ini dicampurkan 1% hingga 5% dari total kebutuhan pembangkit listrik terhadap bahan baku batu bara.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sampah sebagai bahan baku pellet saat ini memiliki volume sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolahan sampah kota, yakni DKI Jakarta (7.000 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari), Surabaya (1.700 ton/hari) Kota Tangerang (1.200 ton/hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton/hari).

Selanjutnya, ada Depok, Kota dan Kabupaten Bogor (1.500 ton/hari), Makasar (1.000 ton/hari), Bandung (1.630 ton/hari), Surakarta (550 ton/hari), Malang (800 ton/hari), Regional Jogja (440 ton/hari) dan Balikpapan (290 ton/hari). “Nilai kalori pengelolahan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900 – 3.400 Cal/gr,” tambah Agung.

Sementara untuk hasil hutan jenis kayu jika diekuivalensikan dengan besaran listrik yang dihasilkan, total potensi kayu untuk dijadikan jadi wood pellet sebesar 1.335 Mega Watt electrical (MWe). Potensi tersebut tersebar di Sumatera (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300 – 4.400 Cal/gr.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal  Energi Baru Terbaruka dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, memang mendorong implementasi co-firing batu bara lebih masif. Salah satu poin yang jadi fokus pemerintah adalah ketersediaan bahan baku biomassa. Pemerintah memang tidak bisa terlibat langsung dalam penyediaan bahan baku ataupun harga nantinya tapi saat ini tengah disusun berbagai kebijakan agar nantinya bisa mendukung skema business to business antara PLN dengan pemasok biomassa.

“Dalam pelaksanaannya ini akan B to B antara produsen biomassa dengan PLN dan IPP (Independent Power Producer). Pemerintah cq Kementerian ESDM melakukan penyusunan regulasi baik pengusahaan, keteknikan dan juga penyediaan supply yang berkelanjutan. Menyusun mekanisme sehingga program bisa jalan,” jelas Dadan kepada Dunia Energi (8/2).

Menurut Dadan jika tidak ada aturan yang jelas dikhawatirkan tidak ada kesesuaian antara penjual dan pembeli biomassa. Selain adanya aturan berupa peraturan menteri yang sedang disusun pemerintah juga tengah menyusunan standar dari bahan bakar biomassa dan bahan bakar jumputan padat (RDF) yang akan digunakan sebagai feedstock.

Kemudian mensinergikan program atau kegiatan Kementerian / Lembaga terkait dari hulu hingga hilir. Lalu memetakan potensi dan melakukan kajian keekonomian harga dari feedstock. “Serta mendorong sinergi BUMN antara PLN dengan  Perhutani dan PTPN III dalam rangka keberlanjutan  penyediaan bahan baku biomassa,” ujar Dadan.

Putra Adhiguna, Analis Keuangan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkapkan bahwa para pemangku kepentingan perlu mengevaluasi secara mendalam skala yang dapat dicapai oleh rencana co-firing secara realistis, terutama dalam kaitannya dengan target besar yang diusulkan Kementerian ESDM.

Proyeksi kenaikan pangsa IPP dan penurunan pangsa pembangkit listrik PLN dalam dekade mendatang juga perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi dampak menyeluruh dari program co-firing.

Menurutnya upaya terfokus untuk memprioritaskan wilayah tertentu akan lebih menjanjikan ketimbang mengejar impian pengembangan skala nasional yang ambisius dan dikejar secara bersamaan.

“Rencana penerapan yang fokus pada target prioritas tertentu sesuai kelayakan komersialnya serta kesediaan PLN untuk mendukung perjanjian pembelian jangka panjang akan mengirimkan sinyal positif yang lebih kuat untuk menarik investasi besar bagi industri biomassa,” kata Adhiguna.

Dia menegaskan Indonesia berpotensi menjadi negara dengan basis biomassa yang kuat, dan ambisi co-firing bisa menjadi titik awal untuk memicu perkembangannya. “Namun demikian, ambisi tersebut hanya dapat dibangun dengan transparansi dan perencanaan yang baik untuk mendukung stabilitas pasar jangka panjang,” tegas Adhiguna.(Rio Indrawan)