JAKARTA – Komisi VII DPR RI menyatakan penerbitan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2021 adalah harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. UU EBT dianggap sebagai kebutuhan lebih mendesak, bahkan jika dibandingkan dengan revis UU Migas yang sudah mangkrak pembahasannya selama hampir 10 tahun.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR, mengungkapkan pada tahun depan DPR baru akan membahas lagi revisi UU Migas. Ia mengungkapkan revisi UU Migas harus mengalah karena saat ini UU EBT lebih mendesak untuk segera diterbitkan. Salah satu alasan mendesaknya UU EBT untuk segera diterbitkan adalah karena Indonesia sudah terikat perjanjian untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada  2030 sebesar 29% yang ditandatangani Presiden Joko Widodo di Paris (COP 21 Paris Agreement) pada 2015.

“Tahun depan UU EBT sudah harus terbit. Ini masalah krusial, pasalnya kita telah menandatangani Paris Agreement, tapi pada kenyataannya porsi EBT masih sangat rendah. Ini harus segera kita kejar,” kata Sugeng disela diskusi virtual, Rabu (9/12).

Berdasarkan data pemerintah, porsi EBT dalam bauran energi masih belum beranjak dari persentase sekitar 12%. Padahal sesuai dengan target Rencana Umum Energi Nasioal (RUEN) porsi EBT harus mencapa 23% pada 2025.

Sugeng berharap dengan kehadiran UU EBT masalah-masalah krusial dalam pembangunan pembangkit EBT bisa segera teratasi. Misalnya, masalah perizinan, pengadaan lahan terlebih masalah harga jual listrk dari pembangkit EBT yang selama ini dijadikan kambing hitam tidak berkembangnya pembangkit listrik EBT.

Salah satu contoh nyata adalah ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Dengan potensi besar tapi implementasinya sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah masalah lahan untuk pembangunan panel.

Selama ini pelaku usaha mengeluhkan tingginya biaya pengadaan lahan. Jika itu bisa dibantu dengan berbagai kemudahan sehingga biaya bisa ditekan, maka ujungnya harga listriknya pun bisa lebih kompetitif.

“Kalau UU EBT nanti bisa dituntaskan, masalah-masalah krusial misalnya untuk surya, jika tanah tidak menjadi dalam komponen Capital Expenditure (Capex) maka harga listrik bisa dibawah US$4 sen per kWh,” kata Sugeng.(RI)