JAKARTA – Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh pelanggan PT PLN (Persero) mendapat respon positif. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyambut baik keputusan Ignasius Jonan, Menteri ESDM 2016 – 2019, pada akhir masa jabatannya. Jonan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM 49/2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.

“Analisa IESR menunjukkan bahwa ketiga Permen ESDM itu dapat meningkatkan minat masyarakat umum, industri, dan bisnis untuk berinvestasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap,” kata Fabby, Senin (28/10)

Menurut Fabby, dengan potensi energi surya yang cukup tinggi dan dalam upaya mengerja pencapaian target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), tiga regulasi terkait PLTS Atap diyakini dapat mendorong minat konsumen PLN untuk memasang listrik tenaga surya atap dan memicu pemanfaatan energi surya di Indonesia untuk mencapai target 6,5 gigawatt (GW) pada 2025.

IESR memberikan apresiasi terhadap perbaikan regulasi PLTS atap paska keluarnya Permen ESDM 49/2018, yaitu menaikkan batas kapasitas untuk ketentuan izin operasi dari 250 kVA menjadi 500 kVA dan tidak mewajibkan adanya Sertifikat Laik Operasi/SLO oleh Lembaga Inspeksi Teknik/LIT untuk instalasi sampai 500 kVA sepanjang perangkat dan pemasangan sesuai dengan standar keteknikan (Permen ESDM 12/2019).

Selain itu, diterbitkan pula revisi atas ketentuan biaya kapasitas untuk pelanggan sektor industri, dengan menurunkannya dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam (Permen ESDM 16/2019).

“Jonan telah meletakkan sebuah dasar yang cukup baik untuk perkembangan listrik surya atap selanjutnya, selain regulasi yang cukup suportif, ada pula inisiatif Peta Jalan Energi Surya yang digagas oleh Dirjen EBTKE yang memetakan berbagai potensi untuk melakukan akselerasi pengembangan energi surya dalam rangka mencapai target RUEN pada 2025,” ujar Fabby.

Indonesia tercatat memiliki potensi energi surya yang besar. Kajian IESR 2019 menemukan potensi PLTS atap untuk bangunan rumah di Indonesia dapat mencapai 655 GWp. Potensi pasar PLTS atap untuk bangunan rumah di Jawa-Bali juga mencapai 12-15 GWp sampai 2030. Perhitungan IESR atas potensi PLTS atap di berbagai gedung perkantoran milik Pemda DKI Jakarta dan semua gedung utama kementerian Republik Indonesia, serta kantor-kantor direktorat dan KPP milik Kementerian Keuangan yang berlokasi di Jakarta mencapai 9,3 MWp, potensi yang cukup besar mengingat banyak gedung kantor di Jakarta yang menempati bangunan tinggi dengan luasan atap terbatas.

Kajian IESR yang berjudul Peta Jalan untuk Sektor Kelistrikan Indonesia (2019) juga mengindikasikan
bahwa sistem Jawa-Bali dan Sumatra dapat mengakomodasi 19-35 GW kapasitas PLTS (di atas atap, skala utilitas di atas tanah, dan terapung) pada 2027.

“Berdasarkan kajian tersebut, penetrasi PLTS yang tinggi ini tidak mengganggu keandalan dan biaya pembangkitan pada sistem Jawa-Bali dan Sumatra dan bahwa PLTS dapat menjadi salah satu solusi yang cost effective untuk penyediaan energi listrik di Indonesia,” tandas Fabby.(RA)