JAKARTA – Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap oleh Konsumen Pelanggan PT PLN (Persero) dinilai terlalu menitikberatkan atau fokus pada pelanggan PLN.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, secara substansi tujuan peraturan tersebut masih bersifat jangka pendek dan cenderung melindungi kepentingan pendapatan PLN. Serta tidak selaras dengan amanat target yang tertuang di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Permen ESDM 49/2018 terlalu melindungi PLN,” kata Fabby di Jakarta Senin (3/12).

Berdasarkan analisa IESR, skema net-metering Permen 49/2018 kurang menarik untuk pelanggan PLN, besaran 65% untuk nilai energi yang diekspor ke jaringan PLN membuat PLTS tidak menarik secara ekonomis bagi sebagian besar masyarakat.

Tarif ekspor yang lebih rendah akan memperpanjang masa pengembalian investasi (payback period) sehingga menurunkan tingkat keekonomiannya menjadi 11-12 tahun dengan harga saat ini. Selain itu, periode akumulasi ekspor listrik yang hanya dihitung per 3 bulan juga membuat PLTS atap menjadi kurang menarik. Proses perizinan yang diberikan oleh PLN tidak ada ketentuan yang jelas bahwa PLN wajib menyetujui permohonan pelanggan.

Fabby mengatakan, prosedur pemasangan dalam aturan baru ini cenderung rumit. Permen 49/2018 mensyaratkan pelanggan untuk mengajukan izin sebelum pemasangan rooftop solar dan menggunakan Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu.

“Terdapat pasal yang mengecualikan pelanggan industri pemasang rooftop solar dari Permen ESDM No. 1/2017, namun masih disebutkan adanya ketentuan capacity charge dan emergency fee untuk pelanggan industri yang memasang rooftop solar
tersambung jaringan,” ungkap Fabby.

Potensi pengguna surya atap di Jawa diklaim mencapai 13% dari total pelanggan PLN. Potensi pengguna ini berasal dari Rumah Tangga R1 2200 VA, R2, dan R3 yang jumlahnya berkisar sekitar 4,5 juta rumah tangga. Potensi pengguna surya atap juga berasal dari sektor industri dan bangunan komersil, yang kapasitas instalasinya berkisar antara 3-5 GWp.

“Dengan aturan baru ini, berpotensi hilangnya peluang dan kesempatan investasi rakyat 15-20 GW untuk PLTS Atap,” kata Fabby.(RA)