JAKARTA – Realisasi investasi subsektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) hingga kuartal III 2018 masih jauh dari target. Dari target investasi yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar US$2 miliar yang terealisasi baru mencapai US$800 juta.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), mengatakan rendahnya realisasi investasi pada tahun ini tidak lepas dari andil Kementerian ESDM yang masih mempertahankan regulasi yang ada. Padahal masukan untuk melakukan pembenahan sering disuarakan pelaku usaha.

Selain itu, hingga kini belum adanya tindak lanjut atas rekomendasi yang bahkan sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian dan telah disetujui tentang perubahan pada poin regulasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Poin berisi rekomendasi dari Kemenko Perekonomian sebagai hasil dari pembahasan bersama para stakeholder EBT.

Perubahan pada Permen tersebut diminta untuk dirubah sehingga dapat mengakomodasi penantian badan usaha berdasarkan lelang kompetitif sebagaimana diatur dalam dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015, sehingga badan usaha terpilih bisa mendapatkan dukungan pemerintah berupa dukungan sebagian konstruksi (Viability Gap Fund (VGF) maupun penjaminan infrastruktur.

Lalu perubahan Permen tersebut juga diharapkan mengakomodasi mekanisme penunjukan langsung bagi pembangkit EBT berskala firm pada lokasi yang spesifik yang dapat memberikan jaminan pasokan yang tidak menganggu stabilitas sistem transmisi dan distribusi PLN.

Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017 juga diminta untuk dirubah sehingga memungkinkan jenis kontrak kerja sama Build Operate Own (BOO) untuk pembangkit EBT yang berada di lokasi lahan yang dimiliki oleh pihak ketiga (bukan milik badan usaha); sejauh ini tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Belum adanya tindakan nyata dari Kementerian ESDM tersebut membuat sebagian besar pengambang EBT yang telah menandatangani kontrak Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual beli listrik pada 2017 tidak mampu mendapatkan pinjaman dana.

Dari 70 PPA pembangkit BT yang ditandangani pada 2017 sebagian besar adalah pembangkit tanaga air. Namun justru pembangkit tenaga air yang paling sulit mendapatkan kepastikan pendanaan (Financial Close/FC).

Menurut Riza, untuk pembangkit mini hidro dari 50 yang menandatangani PPA baru 10 yang telah mendapat kepastian pendanaan.

“Ada 40 PPA yang belum dapat financing karena buruknya PPA versi Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero). Yang terbangun pun sharenya diambil asing. Seharusnya untuk yang kecil (kapasitas pembangkit) untuk pengusaha dalam negeri,” ungkapnya Riza, Jumat (26/10).

Menurut Riza, kesulitan pengembang lokal dalam mencari kepastian pendanaan adalah lantaran bunga yang terlalu tinggi, janji pemerintah untuk memfasilitasi pendanaan dengan bunga rendah sampai saat ini juga belum terelasisasi. “Pak Arcandra (Wamen ESDM) janji kasih bunga 2%-3% tapi tidak ada realisasi,” katanya.

Sejak beleid Permen ESDM No 50/2017 diterbitkan pelaku usaha merekomendasikan perubahan beberapa kebijakan di dalamnya, misalnya untuk skema Build Operate Own Transfer (BOOT). Dalam skema ini, aset pengembang selama 20 tahun – 30 tahun akan diserahkan kepada PLN.

Amanat Mahkamah Konstitusi terkait “dikuasai oleh negara” tidak dimaknai dengan “dimiliki oleh negara”. Kemudian penerapan skema BOOT dihapuskan, jika tetap diterapkan skema BOOT maka nilai aset ditetapkan berdasarkan harga pasar saat trasnfer, lalu adanya opsi kepada pengembang untuk transfer aset atau melanjutkan kontrak dengan harga listrik yang akan disepakati kemudian.

Selain itu, pengadaan pengembang. Skema pengadaan dikembalikan sesuai aturan PP 14/2012 yakni penunjukkan langsung bukan pemilihan langsung seperti yang diatur di Permen ESDM No 50/2017.

“Energi hidro lebih murah dibanding batu bara. Kami berharap menteri ESDM tidak mempersulit atau menghambat pembangunan energi air dengan merubah Permen 50,” tegas Riza.

Data Kementerian ESDM hingga kuartal III tahun ini dari 70 PPA pembangkit EBT yang PPA-nya ditandatangani tahun lalu, baru empat pembangkit yang beroperasi, 26 diantaranya mulai konstruksi dan 40 diantaranya belum mencapai financial close.

Mini hidro jadi pembangkit EBT yang mendominasi dalam penandatanganan PPA tahun lalu itu total kapasitas mencapai 286,8 megawatt.(RI).