JAKARTA – Realisasi ekspor bijih nikel  hingga tiga bulan pertama 2018 masih minim. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyebutkan ekspor bijih nikel hingga Maret baru mencapai 8,64 juta ton atau hanya 26,77% dari total rekomendasi yang diberikan sejak awal 2017 sebesar 32,27 juta ton.

Untuk komoditas bauksit yang diekspor baru sebanyak 2,63 juta ton atau 15,35% dari total rekomendasi sebanyak 17,13 juta ton.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, mengatakan para pelaku usaha telah patuh pada ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang terus berkembang.

“Para pelaku usaha patuh terhadap aturan, termasuk serius dalam melaksanakan komitmen membangun smelter,” kata Agung kepada Dunia Energi, Rabu (18/4).

Dalam data tersebut terungkap dari total 18 perusahaan yang memiliki rekomendasi atau izin ekspor bijih nikel, baru empat pabrik smelter yang telah rampung, yaitu pabrik milik PT Aneka Tambang Tbk, PT Fajar Bhakit Lintas Nusantara, kemudian pabrik smelter hasil kerja sama antara PT Trimegah Banung Persada dan PT Gane Permai Sentosa yang  membentuk perusahaan smelter PT Megah Surya Pertiwi. Lalu pabrik smelter hasil kerja sama PT Mulia Pacific Resources dan PT Itamara Nusantara yang membentuk PT CORII.

Untuk bauksit, dari tujuh perusahaan yang mendapatkan rekomendasi ekspor baru ada dua fasilitas smelter bauksit yang rampung yaitu milik PT Antam Tbk dan milik PT Cita Mineral Investindo dan PT WHW Alumunia Refinery.(RI)