JAKARTA – Merubah pola pikir seorang manusia tidaklah mudah. Apalagi kalau harus merubah pola pikir sekelompok masyarakat yang sudah berkegiatan dengan pola pikir yang sama dan terus dijaga selama bertahun-tahun. Toh, itu tidak menjadi halangan bagi program System of Rice Intensification Organik (SRI Organik) yang terus dijalankan Medco E&P Indonesia di sekitar wilayah operasinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Program ini merupakan satu dari 18 program pemberdayaan masyarakat yang dijalankan tersebar diseluruh wilayah Medco E&P Indonesia di tanah air.

Tren bercocok tanam organik terus menjamur di berbagai wilayah Indonesia. Tentu bukan tanpa sebab karena berbagai keuntungan mulai dari produktifitas sampai yang terpenting adalah menjaga kerberlangsungan kehidupan lingkungan bisa diwujudkan dengan menjalankan metode yang sesungguhnya adalah akar fondasi dalam bercocok tanam manusia.

Penggunaan pupuk anorganik atau bahan kimia dalam bercocok tanam padi sudah diadopsi petani di sekitar wilayah Blok Rimau dan Blok South Sumatera selama puluhan tahun. Meski dimaksudkan untuk menyuburkan tanah, penggunaan pupuk berbahan kimia seperti urea nyatanya justru membuat hasil panen padi terus menurun dari sisi produktifitas maupun kualitas. Dari kondisi itu kemudian Medco E&P Indonesia masuk, menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya untuk segera berubah dalam metode bercocok tanam.

Sugiarsih, Community Development Officer Medco E&P Indonesia, mengakui pada awalnya sulit mencari celah untuk bisa merubah pola pikir yang sudah menahun. Apalagi masyarakat sudah terlanjur nyaman dengan metode tanam yang selama ini digunakan. Ketika diperkenalkan metode berbeda tentu akan ada keraguan besar apakah perubahan metode ini akan membawa keuntungan atau malah membuat mereka menjadi rugi.

Tapi dengan memanfaatkan celah menyadarkan masyarakat akan kondisi nyata hasil tanam, membuat sedikit demi sedikit perubahan pola pikir, sehingga kini masyarakat menggunakan pupuk kompos berbahan baku air beras, air kelapa, jerami yang dicampur dengan kotoran hewan.

“Jadi kami sadarkan dulu apa yang terjadi terhadap mereka kemudian bersama kita pikirkan apa yang harus dilakukan, jadi mereka dibuat sadar dulu kesalahannya,” kata Sugiarsih ditemui disela IPA Convention & Exhibition (IPA Convex 2019), Jakarta, Kamis (5/9).

Cara itu kata dia terbukti cukup ampuh. Karena masyarakat akhirnya mengakui bahwa penggunaan bahan kimia memerlukan biaya cukup tinggi, belum lagi kesuburan tanah yang dirasa terus alami penurunan. Ini bisa dilihat dari hasil panen yang tidak banyak bahkan cenderung terus sedikit padahal lahannya yang digunakan sama saja.

Menggandeng Aliksa Organik, konsultan yang fokus dalam bidang pemberdayaan masyarakat yang memanfaatkan potensi lokal khususnya pertanian berkelanjutan, petani di sekitar wilayah blok Rimau dan South Sumatera dibina, diberikan pemahaman serta pelatihan bercocok tanam berbeda dari yang biasa mereka lakukan.

Hasilya kini bisa dirasakan sendiri oleh mereka. Di Aceh misalnya, kini di Desa Blang Nisam, Aceh dengan luas lahan sekitar 1,2 hektar (ha) yang dikelola oleh 16 petani kini bisa memproduksi padi 4,4 ton/ha. Padahal sebelumnya hanya 3,5 ton/ha. Capaian di Aceh belum ada apa-apanya dibandingkan dengan capaian di sekitar blok South Sumatera yang bisa meningkatkan produktifitas tanam lebih dari 100%. Jika sebelum diterapkan SRI Organik produksi padi hanya 3 ton/ha, kini produksi padinya bisa mencapai 8 ton/ha dengan luas lahan mencapai 272 hektar digarap oleh 172 petani dan tersebar di lima desa.

Sugiarsih menjelaskan dalam program pemberdayaan masyarakat Medco tidak melulu mengandalkan materi. Program SRI Organik misalnya, perusahaan tidak sediakan dana besar melainkan hanya mengadakan pelatihan, pendampingan oleh tim konsultan selama satu kali musim tanam. Para petani yang datang pelatihan secara sukarela juga pulang dengan tangan hampa, mereka tidak dibekali modal uang untuk membelanjakan kebutuhan tanam organik. Akan tetapi hanya diberikan modal berupa bibit organik. “Fokus kita memang ke soft skill jadi bukan dalam bentuk materi,” ujarnya.

Ketekunan serta kesabaran jadi keharusan dalam menjalankan SRI Organik, perubahan pada metode tanam padi memang cukup drastis ketika sudah beralih ke sistem organik. Dalam beberapa kasus petani diwajibkan untuk bekerja lebih giat, misalnya untuk membersihkan rumput disekitar tanaman padi secara manual tidak lagi gunakan obat-obatan. Belum lagi penanganan hama juga dilakukan secara organik. Berbeda dengan saat masih gunakan bahan kimia cukup dengan menyemprotkan cairan kimia.

Kesabaran berbuah manis. Hasil panen berupa beras organik memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan harga beras anorganik atau yang menggunakan bahan kimia. Di pasar swalayan saja bisa mencapai Rp 30 ribu – Rp 40 ribu per kg. Sementara untuk beras yang dihasilkan dari tanaman padi anorganik harganya berkisar Rp 10 ribu – 15 ribu per kg. “Jadi dari sisi ekonomi memang lebih baik,” kata Sugiarsih.

Setelah metode SRI Organik jadi andalan masyarakat untuk wujudkan kemandirian ekonomi, pemerintah pun merasa terpanggil dengan ikut ambil bagian dalam bentuk pembangunan saluran irigasi yang memang dibutuhkan para petani untuk mengairi sawahnya.

Risna Resnawaty, Pakar Corporate Social Responsibility (CSR) dan Community Development dari Universitas Padjadjaran, mengatakan metode yang ditempuh oleh Medco E&P Indonesia dalam pemberdayaan masyarakat melalui program SRI Organik ini sangat positif. Dalam pelaksanaan CSR selama ini seringkali perusahaan menganggap bahwa modal atau dana merupakan masalah utama dalam pengembangan ekonomi masyarakat.

“Perusahaan seringkali lupa masyarakat memiliki aset yang dapat dikembangkan seperti aset sosial, manusia, fisik, finansial, dan lingkungan,” kata Risna kepada Dunia Energi.

Dia menilai metode yang dilakukan Medco E&P Indonesia cukup efektif, sebab perusahaan dapat menanamkan sikap pada masyarakat bahwa masyarakat mampu berdaya tanpa tergantung pada bantuan perusahaan. Hal ini akan menambah nilai dan kekuatan pada aset-aset yang lain yg dimiliki masyarakat. “Sebagai contoh karena tidak adanya pendanaan, maka masyarakat menggalang dana secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa aset sosial dan finansial masyarakat menguat dengan adanya program tersebut,” jelas Risna

SRI Organik membuktikan bahwa tanpa bantuan pendanaan sebuah program pemberdayaan masyarakat dapat berjalan, artinya perusahaan berhasil membangun partisipasi masyarakat dari awal perencanaan program. “Masyarakat menjadi terlatih memecahkan masalah, tumbuh tanggung jawab, tidak tergantung pada perusahaan, hal hal tersebut merupakan ciri terbangunnya kapasitas dari masyarakat. Ini sebuah indikasi pendampingannya luar biasa bagus,” kata Risna.

Lebih lanjut Sugiarsih menjelaskan bahwa program SRI Organik ke depan bisa diperluas ke wilayah lain tanpa adanya bantuan khusus dari manajemen perusahaan. Karena saat masih dijalankan SRI Organik juga merekrut petani menjadi calon agen perubahan. Mareka dibekali dengan berbagai ilmu tanam organik serta tidak lupa kemampuan meningkatkan soft skill masyarakat yang akan disambangi nantinya.

“Perluasan area pemanfaatan kan sudah lahir beberapa fasilitator lokal nah kemudian mereka kembangin ke desa-desa tetangga jadi perluasan penerima manfaat,” kata Sugiarsih.(RI)