JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi menuju dekarbonisasi 2060 atau lebih awal dengan menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang memiliki porsi pembangkit energi terbarukan yang lebih besar. Pemerintah mengklaim bahwa RUPTL ini merupakan RUPTL paling hijau karena memuat porsi kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 51,6 persen atau 20,923 MW pada 2030. Meskipun demikian, RUPTL 2021-2030 masih mengindikasikan ketergantungan energi fosil pada sistem energi di Indonesia.

Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR yang juga merupakan penulis utama studi Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, berpendapat bahwa RUPTL 2021-2030 masih memperlihatkan bauran listrik energi terbarukan yang masih kecil yaitu hanya sebesar 24,8 persen di tahun 2030. Artinya sepanjang 2025 hingga 2030, kenaikan bauran energi terbarukan hanya sebesar 1,8 persen saja. Angka ini jauh lebih kecil dari target kenaikan bauran dari 2021 ke 2025 yaitu sebesar 8 persen (dari 15 persen hari ini ke 23 persen di 2025).

“Seharusnya bauran energi terbarukan pada 2030 bisa lebih tinggi mengingat harga energi terbarukan di tahun tersebut diprediksi akan lebih kompetitif ketimbang energi fosil,” ujarnya, Kamis(14/10).

Indonesia sendiri sudah mendeklarasikan untuk mencapai dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih awal. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyebutkan bahwa target tersebut akan terwujud jika pada 2030, sekitar 70 persen kapasitas pembangkit listrik atau sekitar 80-85 GW berasal dari energi terbarukan sehingga emisi sektor energi bisa mencapai puncaknya di 2030.

“Untuk mencapai bauran ini maka perlu ada upaya untuk menurunkan kapasitas pembangkit energi fosil sehingga membuka ruang yang lebih besar bagi pembangkit energi terbarukan untuk masuk dalam sistem ketenagalistrikan. Penurunan kapasitas pembangkit termal harus diikuti dengan pengembangan energi terbarukan. Dengan kebutuhan ini, maka energi terbarukan pada 2022-2025, idealnya mencapai 25-30 GW dan diakselerasi menjadi 45 – 50 GW dari 2025 sampai 2030, seiring dengan rencana pensiun dini PLTU,” ujarnya.

Menyoroti rencana pemerintah dalam RUPTL 2030 untuk melakukan pensiun 1,1 GW PLTU subkritikal di Muara Karang, Tanjung Priok, Tambak Lorok, dan Gresik pada tahun 2030, Manager Program Energi Transformasi, Deon Arinaldo menilai bahwa langkah ini masih mengikuti rencana business as usual karena PLTU tersebut memang sudah memasuki umur pensiunnya.

Selain itu, langkah pemerintah untuk tetap mempertahankan bahan bakar fosil dengan melakukan co firing biomassa pada PLTU justru akan menimbulkan risiko stranded asset dan lingkungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan fokus mengembangkan energi terbarukan seperti energi surya. PLN bahkan sudah mengidentifikasi tantangannya seperti keberlanjutan suplai biomassa yang diperlukan mencapai 8-14 juta ton per tahun, dampak pada efisiensi PLTU serta kenaikan BPP.

Di sisi lain, RUPTL 2030 juga telah merencanakan pengembangan interkoneksi ketenagalistrikan di dalam pulau maupun antar pulau untuk meningkatkan keandalan listrik dan mendistribusikan energi baru terbarukan yang sumbernya berada jauh dari pusat beban. Pemerintah menargetkan pada tahun 2024 interkoneksi di dalam Pulau Kalimantan dan Sulawesi sudah terwujud dalam sistem supergrid untuk mengatasi adanya over supply di suatu sistem besar. Pemerintah juga sedang mengkaji pengembangan jaringan interkoneksi antar Sumatera-Jawa dan Bali-Lombok. Merujuk pada kajian Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, rencana jaringan interkoneksi di dalam pulau dan antarpulau ini merupakan hal yang baik dan patut dikawal pengembangannya.

Selain itu, pengembangan energi terbarukan bervariasi (VRE) khususnya energi surya difokuskan pada tiga strategi: PLTS untuk listrik perdesaan (lisdes), de-dieselisasi, dan tersambung jaringan (baik PLN maupun IPP). Meski demikian, de-dieselisasi dengan konversi PLTD menjadi PLTS yang dilengkapi dengan baterai dengan total kapasitas 1,2 GWp hanya ditujukan untuk sistem-sistem terisolasi yang tidak dimungkinkan untuk dikoneksikan dengan transmisi PLN.
“Jika dimaksudkan untuk mendorong penetrasi energi terbarukan yang lebih agresif, pemanfaatan energi terbarukan setempat, baik surya atau sumber energi terbarukan lainnya, sebaiknya menjadi strategi utama penyediaan akses energi, bukan pengganti, dan harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan keandalan,”ungkap Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.

Tidak hanya itu, target 4,7 GW PLTS hingga 2030 yang tercantum dalam RUPTL terbaru ini kurang mencerminkan potensi dan project pipeline PLTS yang jauh lebih besar. Laporan Scaling Up Solar in Indonesia, bahkan menunjukkan setidaknya membutuhkan minimal 18 GW hingga 2025 untuk merealisasikan target 23 persen bauran energi terbarukan. Sementara menurut kajian IESR Deep decarbonization of Indonesia’s energy system untuk mengejar Indonesia bebas emisi di tahun 2050, diperlukan 107 GW PLTS di tahun 2030 yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan.(RA)