JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) mengkalkulasi, penerapan harga gas industri maksimal US$6 per MMBTU tanpa disertai pemberian insentif akan berdampak pada pendapatan. PGN memproyeksikan pendapatan akan turun  21%.

Arie Nobelta Kaban Direktur Keuangan PGN, mengatakan kondisi tersebut juga akan memberi beban baru perusahaan. Pasalnya, PGN masih memiliki kewajiban utang jangka panjang sebesar US$ 1,95 miliar yang jatuh tempo pada 2024. Jika pendapatan terganggu maka bisa berpotensi membuat PGN tidak mampu memenuhi kewajiban.

“Apabila tidak ada insentif maka kemampuan PGN untuk memenuhi kewajiban jangka panjang akan terganggu,” kata  Arie saat Rapat Dengar Pendapat antara manajemen PGN dengan Komisi VII DPR, Selasa (21/4).

Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2020 mengamanatkan harga gas industri maksimal US$ 6 per MMBTU.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN, mengungkapkan saat ini harga gas PGN kepada industri rata-rata US$8,4 per MMBTU, sehingga jika ingin menurunkan menjadi US$6, ada gap US$ 2,4 per MMBTU. Untuk menutup gap tersebut pemerintah memutuskan ada pengurangan dari sisi harga jual sisi hulu ke PGN. BIasanya gas hulu ditetapkan menjadi turun antara US$4-US$4,5 per MMBTU. Jika dirata-tara saat ini PGN biasanya membeli gas dari hulu sekitar US$ 5,4 per MMBTU. sehingga ada penurunan sekitar US$ 1,4 per MMBTU penurunan dari harga jual US$ 2,4 per MMBTU dan dikurang beli dari hulu.

“Jadi masih ada gap sekitar US$ 0,6 per MMBTU ini yang kami hitung detail kami sampaikan melalui Pertamina ke pemerintah untuk mendapatkan kompensasi,”kata Gigih.

Menurut Gigih, insentif yang dimaksud dalam Permen ESDM Tahun 2020 harus diperjelas ada beberapa ada beberapa opsi yang disodorkan ke pemerintah misalnya penambahan volume gas yang dialokasikan ke PGN dengan harga khusus sehingga PGN bisa menjual tambahan volume in ke pelanggan yang sesuai dengan Perpres 40 tahun 2016 diantaranya adalah pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet atau pelanggan diluar tujuh industri yang ditetapkan dalam aturan tersebut.

“Alternatif lain mengusulkan adanya semcam pengantian biaya cash reimbursement dari pemerintah ini kami sampaikan ke pemerintah melalui Pertamina,” jelas Gigih.

Pada pasal 13 Permen ESDMNo 8 tahun 2020 berbunyi badan usaha yang menyalurkan gas bumi kepada pengguna gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat diberikan insentif secara proporsional. Insentif tersebut ditetapkan oleh menteri ESDM.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan pemerintah harus memaparkan mekanisme pelaksanaan kebijakan penurunan harga gas industri tertentu. Karena ada beberapa pasal yang belum jelas pelaksanaannya seperti misalnya kejelasan insentif yang diberikan untuk meringankan beban perusahaan.

“Ada usulan untuk meminta kompensasi atau insentif secara fiscal, nah pertanyaannya apakah cash flow PGN cukup kuat, karena Ini (insentif) butuh waktu untuk pencairan  dan penganggaran di APBN pemerintah,” kata Eddy.

Sementara Andi Yula Paris, Anggota Komisi VII dari menyatakan bahwa anggaran subsidi untuk APBN 2020 sebesar Rp. 187,6 Triliun dan sampai 31 Maret 2020 sudah menyentuh Rp. 18,7 Triliun atau 10%-nya. “Apabila penerapan Permen 08 Tahun 2020 ini membebani keuangan negara dan BUMN Gas sebaiknya dicabut saja,” kata Andi Paris.(RI)