JAKARTA– Manajemen PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, telah merilis kinerja kuartal I 2017. Hasilnya pun sudah disampaikan kepada publik pada Rabu (24/5). Pendapatan Pertamina tercatat naik 19% menjadi US$ 10,15 miliar dari periode sama 2016 sebesar US$ 8,55 miliar ditopang kenaikan harga minyak nasional atau ICP 69% menjadi US$ 51,03 per barel.

Namun, EBITDA perseroan di kuatal I turun menjadi US$ 1,89 miliar dibandingkan perolehan periode sama 2016 sebesar US% 2,18 miliar. Hal ini berdampak pada laba bersih yang diraih perseroan yang turun 24% menjadi US$ 0,76 miliar atau sekitar Rp 10,05 triliun dibandingkan periode sama 2016 sebesar US$ 1,01 miliar sebesar Rp 13,42 triliun.

Sementara itu, pada periode Januari-Maret 2017, PTT Thailand, badan usaha milik negara Thailand di sektor energi terintegrasi, justru mencatatkan kinerja finansial yang cukup moncer. Pada kuartal I 2017, PTT mencatatkan laba bersih 46,22 miliar baht atau sekitar Rp 17,95 trilun. Raihan laba bersih ini melompati realiasi profit kuartal I 2016 sebesar 23,67 miliar baht atau Rp 9,19 triliun.

Dibandingkan kinerja sepanjang 2016 pun, PTT Thailand tampak lebih apik ketimbang Pertamina. Betul, perseroan mencatatkan penurunan pendapatan tahun lalu menjadi 1,71 triliun baht dari 2,025 triliun baht. Namun, PTT bisa memangkas biaya pokok pendapatan (COGS) dari 1,8 triliun baht menjadi 1,46 triliun baht. Dengan demikian laba kotor naik tipis menjadi 269,95 miliar, dari 248,03 miliar baht. Laba bersih PTT pun meroket signifikan dari 30,72 miliar baht pada 2015 menjadi 129,575 miliar atau sekitar Rp 50,32 triliun pada 2016.

Sementara Pertamina sepanjang 2016 mencatatkan pendapatan 2016 sebesar US$ 36,48 miliar atau Rp 492,42 triliun, turun dibandingkan 2015 sebesar US$ 41,76 miliar atau sekitar Rp 563,76 triliun. Namun, perseroan mampu menekan biaya pokok pendapatan menjadi U$ 30,29 miliar dari US$ 37,84 miliar. Total pendapatan komprehensif perseroan tahun 2016 sebesar US$ 3,09 miliar atau sekitar Rp 41,7 triliun, naik dibandingkan periode sama 2015 sebesar US$ 1,42 miliar atau sekitar Rp 19,17 triliun lantaran efisiensi yang cukup besar.

Pertanyaannya, mengapa kinerja finansial PTT Thailand bisa lebih bagus ketimbang? Apakah Pertamina masih belum efisiens karena banyaknya sumber daya dan juga anak usaha? (dr)