SYAMSU Alam, 55 tahun, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, tampak sumringah saat bertemu puluhan editor dan editor pelaksana sejumlah media massa cetak dan elektronik di salah satu ruangan di lantai tiga sebuah hotel bintang lima di bilangan Senayan, Jakarta, Senin (28/5) pekan lalu. Empat orang Senior Vice President (SVP) Direktorat Hulu, yaitu SVP Upstream Strategic Planning & Performance Evaluation Meidawati;  SVP Development & Production R Panji Sumirat; SVP Exploration Ricardo Perdana Yudantoro; dan SVP Upstream Business Development Denie S Tampubolon serta Vice President Corporate Communication Adiatma Sardjito dan External Communication Manager Pertamina Arya Paramita ikut mendampinginya. Empat SVP bahkan diberikan kesempatan untuk ikut menyampaikan materi kepada para tamu.

Syamsu tampak menikmati pertemuan dengan para editor/editor pelaksana media massa tersebut. Maklum, jarang-jarang mantan Direktur Utama PT Pertamina EP itu memiliki kesempatan bersua para editor, kecuali terbatas pada acara peresmian proyek hulu Pertamina. Sarjana geologi jebolan Institut Teknologi Bandung (1988) dan Doktor dari Texas A&M University Amerika Serikat (2001) itu dengan antusias menjelaskan realisasi kinerja sektor hulu Pertamina berikut rencana strategis perusahaan hingga 2030. Pasalnya, kinerja sektor hulu Pertamina sepanjang kuartal I 2018 cukup moncer. Produksi minyak naik 14% dan gas meroket 55% (year-on-year).

Sepanjang Januari-Maret 2018, Pertamina mencatat kinerja positif sepanjang untuk produksi migas mencapai sebesar 923 MBOEPD. Pencapaian produksi tersebut terdiri atas minyak bumi sebesar 386 MBOPD, naik dari 337 MBOPD dan gas bumi 3.115 MMSCFD naik dari 2.007 MMSCFD.

Tak hanya migas, di sektor panas bumi, Pertamina juga menunjukkan kinerja positif. Pada kuartal pertama 2018, produksi panas bumi setara listrik mencapai 959 GWh atau naik tipis sebesar 1% dibandingkan realisasi kuartal pertama 2017 sebesar 949 GWh. Di sisi lain, kapasitas terpasang panas bumi Pertamina hingga kuartal I 2018 mencapai 617 MW atau masih sama dengan posisi pada 2017.

Pria bertubuh tinggi kurus itu menjelaskan, Pertamina menyiapkan sejumlah program prioritas sektor hulu. Di sisi produksi, program prioritasnya antara lain mempertahankan produksi migas Blok Mahakam dengan mengembangkan Lapangan Tunu Shallow Phase 4, Handil Phase 5, dan Tambora Phase 5. Selain itu menaikkan produksi Lapangan Banyu Urip, menekan tingkat penurunan dengan mengebor 108 sumur, well services, termasuk program reaktivasi lapangan serta optimalisasi operasi panas bumi Ulubelu, Kamojang, dan Lahendong.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina (Foto: Tatan A Rustandi/Dunia-Energi)

“Proyek-proyek hulu yang menjadi program prioritas pada 2018 antara lain panas bumi Karaha dan Lumut Balai, gas Jambaran Tiung Biru, dan pengembangan proyek PT Pertamina International EP untuk menambah produksi migas dari internasional,” katanya.

Pertamina juga, lanjut Syamsu, diuntungkan dengan kebijakan pemerintah yang telah memutuskan 100% hak kelola atau participating interest blok migas terminasi pada 2018 kepada Pertamina yakni Tuban, Ogan Komering, NSO, Sangasanga, Attaka, East Kalimantan, OSES, dan Tengah. “Proses alihkelola blok terminasi termasuk operasi dan sumber daya manusia sudah berjalan dengan lancar,” kata Syamsu.

Kinerja Keuangan
Mengkilapnya kinerja sektor hulu Pertamina, sepertinya tidak akan ditopang oleh sektor lain, terutama sektor hilir Pertamina, khususnya Direktorat Pemasaran. Kendati sampai saat ini belum ada rilis resmi berapa pendapatan dan laba bersih Pertamina sepanjang kuartal I 2018, hampir dipastikan pada periode Januari-Maret 2018, laba bersih Pertamina turun drastis. Dunia-Energi mengestimasi laba bersih Pertamina sepanjang kuartal I 2018 akan babak belur dibandingkan periode sama tahun lalu. Pada periode Januari-Maret 2017, Pertamina membukukan laba bersih US$ 0,76 miliar, angka ini pun lebih rendah 25% dibandingkan periode sama 2016 sebesar US$ 1,01 miliar (year-on year).

Penurunan laba pada 2017 merupakan dampak dari fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pada 2016 harga minyak sebesar US$ 30,2 per barel, tahun lalu pada kuartal I sebesar US$ 51,03 miliar atau hampir 69% kenaikannya. Begitu pula dengan laba sebelum pajak, Pertamina mencatatkan penurunan sebesar 17% dari US$ 2,18 miliar menjadi US$ 1,89 miliar.

Di sisi lain, pendapatan Pertamina naik 19% dibandingkan periode sama 2016 dari US$ 8,55 miliar menjadi US$ 10,5 miliar. Adapun belanja modal (capital expenditure) meningkat menjadi US$ 1,11 miliar pada kuartal I 2017 dari awalnya US$ 0,36 miliar pada 2016 karena investasi yang dilakukan tahun sebelumnya dibayarkan di kuartal I 2017.

Menurut data  Dunia-Energi, harga jual rata-rata minyak nasional atau ICP pada periode Januari-Maret 2018 naik ke level US$ 63 per barel dari sebelumnya US$ 51 per barel (year-on-year). Dari sisi pendapatan, kenaikan ICP terang saja berpengaruh pada pendapatan perusahaan. Apalagi, seperti disebutkan Syamsu Alam, produksi minyak dan gas pada Pertamina juga naik. Sangat boleh jadi, pendapatan Pertamina pada periode Januari-Maret 2018 akan lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu. Perolehan pendapatan sedikitnya US$ 11 miliar pada kuartal I 2018 adalah sangat wajar, lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu.

Namun, peningkatan pendapatan tersebut, sepertinya tak berarti apa-apa. Pasalanya, Pertamina kudu mengeluarkan anggaran besar untuk harga pokok penjualan atau cost of good sold (COGS) dan biaya operasi (operational expenditure). Bila pada kuartal I 2017 COGS Pertamina mencapai hampir US$ 9 miliar, pada kuartal I 2018 sangat boleh jadi mencapai US$ 10 miliar atau bahkan lebih. Mengapa? Salah satu yang membuat COGS dan biaya operasi tinggi adalah penerapan BBM Satu Harga yang dirilis oleh pemerintah. Kebijakan itu secara langsung menggerus performa finansial Pertamina karena perusahaan kudu mendistribusikan BBM jenis premium dan solar hingga daerah yang masuk kategori 3T: Terluar, Terdepan, dan Tertinggal.

Pada 2017, BBM Satu Harga telah menjangkau 57 titik. Tahun ini program BBM Satu Harga diproyeksikan mengkaver 73 titik dan tahun depan 30 lokasi. Daerah yang masuk kategori 3T memperoleh harga yang sama dengan di Jawa dan daerah lain.

Data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan APBN 2018 volume BBM jenis solar untuk jenis BBM tertentu (JBT) dialokasikan 15,62 juta kiloliter. Realisasi sampai Februari 2018 sebesear 2,27 juta kiloliter. Sementara minyak tanah diproyeksikan dalam APBN 0,61 juta kiloliter realisasinya hingga Februari 0,09 juta kiloliter. Total realisasi BBM sebesar 2,36 juta kiloliter.

Sementara itu untuk Jenis BBM Khusus Penugasan atau JBKP (bensin RON 88) penugasan dari BPH Migas sebesar 7,5 juta kiloliter. Realisasi sampai Februari 2018 sebesar 0,93 juta kiloliter. Menurut data Ditjen Migas, perhitungan estimasi biaya untuk program BBM Satu Harga, termasuk pajak, mulai Januari 2017 sampai Februari 2018 sebesar Rp 271 miliar untuk volume 31.820,5 kiloliter.

Namun, pemerintah lupa bahwa premium dan solar Pertamina itu juga banyak yang diimpor. Karena itu, beban biaya importasi juga sangat boleh jadi menekan kinerja keuangan perusahaan. Di luar itu, pemerintah pun tak kunjung menaikkan harga jual premium dan solar. Padahal, sesuai kebijakan pemerintah, saban tiga bulan sekali, harga premium dan solar direvisi. Namun nyatanya, sudah lebih dari dua tahun, harga premium dan solar tak juga direvisi. Padahal, kalau mengacu pada harga keekonomian, sejatinya harga premium sudah mencapai Rp8.800 per liter, namun Pertamina tetap juga menjualnya di level Rp 6.450 per liter. Solar yang dijual Rp 5.150 per liter, sejatinya sudah berada di level Rp8.350 per liter.

Pertamina berpotensi kehilangan banyak pendapatan dari penjualan solar JBT dan premium JBKP. Pada 2017, misalnya, dari volume minyak solar JBT sebesar 14,51 juta kiloliter potensi kekurangan pendapatan dengan pembulatan Rp20,67 triliun dan dengan pembulatan Rp21,05 triliun. Sedangkan unruk premium JBKP dengan volume 7,05 juta kiloliter potensi kekurangan pendapatan tanpa pembulatan Rp 5,30 triliun dan dengan pembulatan Rp 5,55 triliun. Dengan demikian, total kekurangan pendapatan tanpa pembulatan pada 2017 sebesar Rp25,97 triliun dan dengan pembulatan Rp26,60 triliun.

Sementara pada 2018, sampai akhir Februari, total kekurangan pendapatan tanpa pembulatan sebesar Rp 7,1 triliun. Ini terdiri atas minyak solar JBT 2,27 juta kiloliter sebesar Rp5,52 triliun dan premium JBKP 0,93 juta kiloliter sebesar Rp 1,6 triliun. Sementara itu, kekurangan pendapatan dengan pembulatan sebeasr Rp 5,57 triliun solar JBT dan premium JBKP Rp1,63 triliun. Dengan demikian, total kekurangan pendapatan dengan pembulatan mencapai Rp7,21 triliun.

BOD Baru
Ironisnya, di tengah performa keuangan Pertamina yang melemah, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukannya mencari solusi malah mengotak-atik jajaran direksi perusahaan pelat merah itu. Pada 13 Februari April 2018, Kementerian BUMN merombak jajaran direksi Pertamina dan mengubah nomenklatur jajaran direksi. Direktur Gas Yenni Andayani terlempar dari jabatannya. Kementerian BUMN membentuk jabatan baru, yaitu direktur pemasaran ritel dan direktur logistik, supply chain, dan infrastruktur. Direktur Pemasaran Muchammad Iskandar merangkap jadi pelaksana tugas direktur pemasaran ritel. Sedangkan Nicke Widyawati, Direktur SDM, menjadi pelaksana tugas direktur logistik, supply chain, dan infrastruktur sampai diangkat pejabat definitif.

Nicke Widyawati saat menerima penetapan sebagai Plt Dirut Pertamina. (Foto: dok)

Sekitar dua bulan kemudian, persisnya 20 April 2018, Kementerian BUMN kembali merombak jajaran direksi Pertamina. Kali ini lima direksi dicopot: Dirut Elia Massa Manik, Direktur Pemasaran Korporat Muchammad Iskandar, Direktur Pengolahan Toharso, Direktur Manajemen Aset Dwi W Daryoto, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ardhy N Mokobombang. Rapat umum pemegang saham Pertamina kemudian menetapkan Budi Santoso Syarif sebgai Direktur Pengolahan; Basuk Trikora Putra, Direktur Pemasaran Korporat; Masud Hamid, Direktur Pemasaran Ritel; M Haryo Junianto, Direktur Manajemen Aset; Heru Setiawan, Direktur Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia, dan Gandhi Sriwidjojo, Direktur Infrastruktur serta menunjuk Pelaksana Tugas Direktur Utama Nicke Widyawati sekaligus Direktur SDM Pertamina.

BOD baru hanya menyisakan dua orang direktur yang telah menjabat sejak Oktober 2014, yaitu Direktur Hulu Syamsu Alam dan Direktur Keuangan Arif Budiman. Kinerja Direktorat Hulu Pertamina (di masa pemerintahan Joko Widodo) memang cukup moncer dari sisi produksi sepanjang 2014-kuartal I 2018. Namun, dari sisi keuangan, kinerja mulai naik saat harga minyak mentah global meningkat. Sementara Direktorat Keuangan mengalami masalah saat harga minyak mentah turun dan biaya operasi meningkat. Apalagi saat pemerintah menunjuk Pertamina sebagai pelaksana untuk mendistribusikan BBM dalam Program Satu Harga.

Masih belum moncernya kinerja Pertamina kendati telah ditunjuk BOD baru sangat boleh jadi karena belum adanya direktur utama definitif. Posisi pelaksana tugas dirut yang diemban oleh Nicke, yang baru masuk ke jajaran BOD Pertamina di kuartal IV 2017, juga tak membuat dia leluasa. Anehnya, hingga kini, hampir dua bulan, Kementerian BUMN tak juga menunjuk dirut definitif Pertamina. Entah langsung menetapkan Nicke sebagai dirut atau mencari figur baru.  Padahal, peran dirut sangat penting dalam membawa perbaikan perusahaan ke depan. Dia mesti fokus bagaimana meningkatkan performa Pertamina, terutama dari sisi finansial. Sejatinya, dirut juga tak dipusingkan dengan urusan seremonial yang tak penting dari instansi lain yang sebenarnya cukup diwakili oleh pejabat setingkat Senior Vice President, kecuali memang event tersebut sangat urgen dan terkait dengan kepentingan perusahaan.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, menilai sampai saat ni Kementerian BUMN masih melakukan pencarian atau seleksi terhadap para calon dirut Pertamina. Menurut Mamit, pemerintah (Kementerian BUMN) sepertinya tengah mencari figur yang bisa paling tidak membantu Pertamina tidak terperosok lebih dalam keuangan mereka. “Tapi di sisi lain uga sosok tersebut harus lebih mudah diatur dan mau membantu pemerintah menjalankan kebijakan mereka seperti BBM dan kilang. Jadi sekarang sedang bingung, siapa sosok yang bisa,” katanya.

Sofyano Zakaria, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), mengatakan pelaksana tugas direktur utama ada jangka waktunya dan itu tentu akan jadi pertimbangan Kementerian BUMN untuk segera melantik dirut definitif. Kementerian BUMN sudah bicara ke media bahwa dirut definitif Pertamina sudah ada dan dalam waktu dekat akan segera dilantik.

Menurut dia, untuk tahun politik 2018-2019, Pertamina membutuhkan figur dirut yang teramat handal yang menguasai permasalahan Pertamina. Dibutuhkan dirut Pertamina yang mampu mencari terobosan perolehan pendapatan Pertamina dari bisnis lain agar perusahaan bisa menutupi opportunity loss dari jualan solar dan premium yang harganya tak boleh naik.

“Tugas utama dirut BUMN adalah menjalankan misi dari BUMN tersebut, ini yang harus disadari dan diutamakan oleh dirut BUMN,” katanya.

Mamit menambahkan, penetapan sosok dirut definitif adalah keharuan. Tujuannya agar Pertamina bisa mengambil keputusan-keputusan yang strategis. Jika dibiarkan pelaksana tugas, para karyawan seperti anak kehilangan induk. “Tidak bisa bergerak secara maksimal. Figur yang cocok saya kira adalah orang yang benar-benar paham akan kondisi Pertamina atau paling tidak bisa mengerti akan bisnis migas, baik sektor hilir maupun hulu,” ujarnya.

Sosok tersebut, lanjut Mamit, bisa saja internal atau bahkan mantan orang internal yang paham akan Pertamina.Kalau hari dari luar, Pertamina akan semakin tertinggal karena dirut yang baru harus belajar lagi. “Akan banyak kebijakan strategis yang tertunda,” katanya.

Achmad Widjaja,  Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan penempatan profesionalitas lebih diutamakan daripada penunjuka dirut. Pelaksana tugas yang saat ini belum pas menduduki kursi dirut Pertamina karena latar belakang manajerial di papan atas BUMN belum banyak pengalaman. “Dengan demikian, BUMN perlu membawa profesional yang bisa menangani dalam studi layak migas agar bertumbuh seiring dengan perseroan tersebut,” katanya.

Menurut dia, apapun keputusan Kementerian BUMN soal dirut Pertamina, pemerintah perlu mengambil dua keputusan. Pertama, menjadikan Pertamina badan layanan usaha atau perseroan. Kedua, menjadikan Pertamina bagian daripada integrasi usaha migas negara atau usaha kendaran politik. “Di kala kedua hal tersebut belum tuntas dalam penentuan posisi perseroan, alhasil tetap akan mendapat cacian masyarakat dan nilai kesejahteraan rakyat tentang BBM akan terus menjadi ancaman kehidupan berkelanjutan,” katanya.

Di sisi lain, Mamit memproyeksikan, ke depan jajaran BOD Pertamina tidak akan tidak harmonis. Jajaran BD sekarang banyak yang berasal dari luar sehingga kurang paham akan alur bisnis Pertamina. Komunikasi antara BOD dan pegawai harus terjalin secara intens sehingga mereka yang bukan berasal dari internal Pertamina bisa bekerja sama dengan bawahan mereka. Fokus utama BOD Pertamina adalah komunikasi antara direktorat terjalin lebih bagus lain. Selain itu, jajaran direksi harus pandai mencari inovasi baik di hulu maupun hilir di tengah Pertamina sedang dalam posisi tertekan arus kasnya.

“Mereka harus bisa menutup potential loss yang ada dengan membuka atau mempertahankan pendapatan dari direktorat lain di luar hilir yang sudah pasti tergerus keuangannya,” katanya.

Tahun ini dan 2019 adalah tahun politik. BOD Pertamina kudu berkonsentrasi penuh menutupi opportunity loss dari jualan solar dan premium. Untuk itu, BOD Pertamina harus bekerja keras mengupayakan solusi lain untuk menutupi hal tersebut, termasuk berupaya lebih efisiens dari hal-hal yang bisa dilakukan. Jika tidak, how long can you go, Pertamina? (DR)