JAKARTA – PT Pertamina (Persero) sewajarnya tidak menyia-nyiakan kesempatan membeli minyak kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) setelah pemerintah membuka jalan. KKKS juga tidak masalah untuk menjual minyak ke Pertamina jika tawaran yang diajukan menarik dan tidak menimbulkan kerugian.

“Dengan KKKS menjual ke Pertamina, tentu sangat membantu pemerintah dalam mengurangi penggunaan dolar Amerika Serikat,” kata Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch kepada Dunia Energi, Kamis (2/10).

Namun tetap harus diperhatikan tantangan yang dihadapi terkait kesiapan pengolahan, apakah semua minyak yang dibeli bisa diolah kilang Pertamina. Apalagi beberapa jenis crude oil ada yang belum bisa diolah kilang Pertamina.

“Memang bisa diolah, tapi saya kira butuh lebih besar biayanya. Hanya beberapa kilang saja yang bisa mengolah berbagai minyak,” kata Mamit.

Untuk itu, penting Refinery Development Master Plan (RDMP) sehingga kemampuan mengolah minyak kilang Pertamina juga meningkat.

Toto Nugroho, Senior Vice President Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, sebelumnya mengatakan Pertamina sudah melakukan pembicaraan intensif dengan beberapa perusahaan, bahkan telah mencapai kesepakatan awal. Namun kesepakatan tidak akan berlanjut apabila harga lebih tinggi dari harga minyak yang selama ini diimpor Pertamina.

“Sistemnya business to business. Selama dia (kontraktor) masih dibawah pembelian kami, keekonomian kilang, bisa deal. Kalau harga jauh lebih tinggi tidak bisa,” kata Toto.

Selain itu, Toto menambahkan jika tidak ada halangan maka kargo minyak akan dikirimkan kepada Pertamina pada tahun ini juga. “Menunggu lifting sih, mulai bulan depan,” tukasnya.

Menurut Toto, potensi pengurangan impor minyak Pertamina apabila semua minyak kontraktor dibeli memang bisa dibilang tidak kecil, yakni sekitar 225 ribu barel per hari (bph) hingga 230 ribu bph. Tidak hanya dari sisi volume, tapi pembelian minyak KKKS ini juga berdampak pada ongkos pengiriman minyak yang selama ini ditanggung Pertamina dari pembelian di luar negeri.

“Kalau kita dari West Africa itu rata-rata, seperti Pak Menteri (Ignasius Jonan) bilang US$3-US$5 per barel (biaya angkut), misalnya beli semua 200 ribu bph dikali US$ 3 itu berapa,” ungkap Toto.

Selain itu, terkait isu perpajakan kepada perusahaan yang sudah mencapai kesepakatan awal dengan Pertamina, sudah tidak lagi menjadi masalah.

Djoko Siswanto saat dikonfirmasi mengatakan sejauh ini laporan yang sudah masuk ada tiga perusahaan yang sudah menyepakati harga minyak yang dinegosiasikan dengan Pertamina. Dua perusahaan yang sudah bersepakat adakah PT Energi Mega Persada dan Premiere Oil. Bahkan, Premiere Oil sudah akan mengirimkan Pertamina pada kuartal berikutnya.

Pemerintah juga akan melakukan pembicaraan dengan beberapa perusahaan nasional untuk mengarahkan dan mendorong agar bisa segera melakukan negosiasi dengan Pertamina. “Kan ada Saka Energi sama Medco, nanti saya mau ketemu. Perusahaan nasional harusnya lebih mudah,” ujarnya.

Agar lebih lancar, pemerintah juga masih meminta kepastian dari Kementerian Keuangan terkait masalah perpajakan agar lebih jelas dan tidak ada keraguan para perusahaan untuk menjual minyaknya ke Pertamina. Saat ini, jika KKKS menjual crude di luar negeri, tidak dikenakan pajak.
“Seharusnya jika ada penjualan minyak ke Pertamina diberlakukan hal serupa,” kata Djoko.

Dia memastikan kesepakatan yang sudah didapat Pertamina tidak akan dipengaruhi isu perpajakan. Jadi ketika pajak sudah terklarifikasi maka kesepakatan akan langsung dilanjutkan.

“Bagian KKKS dijual melalui trading arm, di Singapura, kena pajak enggak? Enggak kan. Nah seharusnya kalau ini dijual ke Pertamina, kalau enggak kena pajak sama aja tidak dapat apa apa. Ini yang lagi dibahas,” tandas Djoko.(RI)