JAKARTA – Pemerintah memberikan lampu hijau kepada para kontraktor untuk melakukan eksekusi Komitmen Kerja Pasti (KKP) di blok migas terminasi yang telah ditetapkan kontraktor baru. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3 Tahun 2019 tentang pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir kontrak kerja sama-nya (Production Sharing Contract/PSC). Pada pasal 13A disebutkan bahwa kontraktor dapat mengajukan usulan perubahaan dan/atau pengalihan KKP ke wilayah terbuka berdasarkan pertimbangan teknis dan/atau ekonomis kepada Menteri melalui SKK Migas. Perubahan atau pengalihan ini dapat dilakukan setelah PSC diteken dan sebelum tanggal efektif PSC tersebut.

Jika disetujui Menteri, pelaksanaan pengalihan KKP ke wilayah terbuka dilakukan oleh kontraktor dan/atau afiliasinya untuk mendukung penyiapan wilayah kerja baru. Namun, biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan pengalihan KKP tidak diakui sebagai biaya operasi dalam PSC dan tidak diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak kontraktor. Pelaksanaan pengalihan KKP dilakukan melalui mekanisme di bawah pengendalian dan pengawasan SKK Migas.

Pasal 20 disebutkan bahwa setelah ditandanganinya kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam 19, untuk meningkatkan cadangan dan/atau meningkatkan produksi migas di wilayah kerja, PT Pertamina atau kontraktor baru yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang dapat melakukan pembiayaan atau kegiatan operasi termasuk pelaksanaan komitmen kerja pasti (KKP) yang diperlukan sebelum tanggal efektif kontrak kerja sama baru.

Dalam pelaksanaannya nanti, PT Pertamina (Persero) atau kontraktor baru wajib membuat perjanjian dengan kontraktor eksisting terkait pembiayaan dan kegiatan operasi, termasuk pelaksanaan KKP. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara kedua kontraktor, menteri dapat mengambil kebijakan hal tersebut.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, mengatakan kebijakan komitmen kerja pasti bertujuan untuk membantu kinerja suatu blok terminasi agar produksi migasnya tetap optimal. Pada masa transisi merupakan waktu yang krusial dimana kontraktor terdahulu menurunkan aktivitas dan investasinya. Untuk itu pemerintah memberikan jalan untuk kontraktor baru bisa berinvestasi juga pada masa transisi.

“Kan sudah teken (pemenang baru), tapi baru masuk nanti setelah kontrak habis. Selama transisi itu si kontraktor baru bisa melakukan kegiatan, baik dengan biaya sendiri,” kata Djoko di Jakarta, Senin (6/5).

Djoko mencotohkan implementasi regulasi ini pada transisi yang terjadi di blok Rokan. Apabila dilihat dari kontrak saat ini memang masih blok Rokan masih dikelola  PT Chevron Pacific Indonesia hingga 2021 nanti.  Pertamina sudah ditetapkan oleh pemerintah menjadi operator Blok Rokan setelah kontrak dengan Chevron habis. Artinya dengan adanya Permen baru itu pemerintah memberikan opsi, baik kepada Pertamina ataupun Chevron untuk membiayai investasi yang dibutuhkan untuk menambah cadangan ataupun mempertahankan produksi di blok Rokan pada masa transisi.

“Dia (Chevron) boleh dan Pertamina boleh. Kan investasi diganti 5 tahun pertama. Karena kontrak kan belum berakhir, masa sudah diubek-ubek sebelum kontrak habis. Sekarang kalau ada dasar hukum lebih firm orang. Misal Pertamina belum efektif kontrak berlaku boleh tidak kita masuk pembiayaan. Kalau tidak keluarin, produksi bisa turun. Ini penegasan secara hukum,” ungkap Djoko.

Untuk di Blok Rokan nilai KKP yang disepakati antara Pertamina dan pemerintah mencapai US$500 juta.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan selama masih dalam kontrak yang berlaku tentu investasi akan dilakukan  Chevron. Hanya saja Chevron pasti juga menghitung keekonomian hingga  2021. Karena itu, transisi termasuk pembiayaan ini harus dibicarakan dengan Pertamina. “Apakah investasi akan ditanggung oleh siapa. Mungkin ada model lain. Mungkin kalau sudah mulai ada agreement dari kedua perusahaan itu,” kata Dwi.(RI)