JAKARTA – Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang melimpah menjadikan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia khususnya dalam konteks transisi energi dalam upaya dekarbonisasi. Salah satunya adalah hidrogen bersih di mana Indonesia berpotensi menjadi produsen utama di skala regional.

Pertamina sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia memiliki peran besar dalam transisi energi. Dalam konteks ini, produksi minyak dan gas yang dilakukan Pertamina tetap dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional namun di sisi lain harus ada upaya untuk meminimalisasi emisi karbonnya serta perlu mengembangkan energi hijau.

Pertamina NRE adalah subholding Pertamina yang menjadi ujung tombak transisi energi sekaligus mitra strategis pemerintah dalam mencapai target net zero emission tahun 2060 melalui tiga pilar strategisnya, yaitu solusi rendah karbon (low carbon solutions), pengembangan energi baru dan terbarukan, dan pengembangan bisnis energi masa depan. Hidrogen bersih yang sedang dikembangkannya adalah salah satu inisiatif dari pilar bisnis energi masa depan.

“Dekarbonisasi tidak hanya berkaitan dengan pembangkitan tenaga listrik, tapi juga sektor transportasi yang merupakan salah satu penyumbang emisi karbon yang cukup besar. Hidrogen bersih menjadi salah satu solusinya. Hidrogen bersih akan memiliki peran penting dalam dekarbonisasi untuk sektor-sektor hard-to-abate seperti transportasi, industri semen, pupuk, petrokimia, dan pengolahan minyak,” ungkap Dannif Danusaputro, CEO Pertamina NRE dalam New Energy Discussion G20 SOE International Conference di Nusa Dua, Bali, Selasa(18/10/2022).

Dannif menyampaikan permintaan hidrogen secara global berpotensi meningkat hingga empat kali lipat di tahun 2050 dari saat ini sekitar 90 juta ton per tahun menjadi sekitar 380 juta ton per tahun, di mana sebesar 50 persen dari permintaan tersebut datang dari Asia. Sedangkan di Indonesia permintaan hidrogen diproyeksikan akan mencapai 1 – 8 juta ton per tahun pada tahun 2040 yang datangnya dari sektor transportasi, ketenagalistrikan, industri dan kimia.

“Potensi hidrogen bersih sangat besar. Indonesia mungkin bukan produsen hidrogen dengan biaya termurah, tapi dengan kondisi geopolitik seperti saat ini, pasar global tentu perlu mendiversifikasi sumber pasokannya, dan Indonesia berpotensi menjadi pemain utama di Asia,” ujarnya.

Saat ini Pertamina NRE memiliki pilot project pengembangan hidrogen hijau di area geothermal Ulubelu yang dikelola oleh anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Pilot project ini ditargetkan dapat memproduksi 100 kg per hari.

“Dengan potensi yang dimiliki serta inisiatif yang dilakukan Pertmaina NRE saat ini, kami menargetkan untuk bisa memenuhi permintaan domestik terhadap hidrogran bersih pada tahun 2027 dan memimpin di pasar Asia mulai tahun 2031,” kata Dannif.

Saat ini Pertamina NRE melakukan kolaborasi dengan dengan sejumlah mitra strategis baik dari dalam maupun luar negeri. Pada kesempatan yang sama di acara G20 SOE International Conference, Pertamina NRE menandatangani tiga perjanjian studi bersama dalam pengembangan hidrogen bersih, yaitu dengan Ignis Energy dan Krakatau Steel, dengan Ignis Energy dan Sembcorp Energy Indonesia, serta dengan Tokyo Electric Power Company (TEPCO). Tahun lalu Pertamina NRE juga menandatangani nota kesepahaman dengan Pupuk Indonesia untuk pengembangan hidrogen untuk amonia biru dan hijau.

Selain kolaborasi pengembangan hidrogen, dalam acara yang sama Pertamina NRE juga menandatangani kerja sama dari hulu ke hilir untuk pemanfaatan biometan bersama PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) dan PT Pertagas Niaga (PTGN). Biometan bersumber dari biogas yang diolah dari limbah cari kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME) yang dihasilkan PTPN III lalu dilakukan proses pemurnian serta dikompres oleh Pertamina NRE, sebelum siap didistribusikan kepada konsumen industri oleh PTGN.

Inisiatif-inisiatif pengembangan energi baru dan terbarukan serta dekarbonisasi yang dilakukan Pertamina NRE merupakan bagian dari implementasi environment, social, and governance (ESG) serta dukungan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terutama tujuan ke-13, yaitu penanganan perubahan iklim.(RA)