DUNIA mendapatkan guncangan luar biasa pada seluruh sektor yang diakibatkan DI pandemi Covid-19, termasuk Indonesia. Ekonomi luluh lantah dihantam gelombang krisis yang diawali wabah yang timbul dari Wuhan, China pada awal tahun lalu ini.

Niatan pemerintah untuk menjadikan tahun 2020 sebagai momen kebangkitan industri nasional pun mendapatkan pukulan telak. Atur ulang strategi untuk tetap bertahan di masa pandemi Covid-19 kini menjadi prioritas semua sektor.

Industri nasional sudah terlanjur merana dalam waktu yang tidak singkat akibat tingginya komponen harga bahan baku, yaitu gas. Daya saing industri nasional menjadi melorot kalah dengan hasil industri atau barang-barang impor. Jika di dalam negeri saja loyo bagaimana mungkin industri nasional bisa unjuk gigi di luar negeri? Perbaikan daya saing industri ini jadi cukup mendesak untuk bisa mengurangi defisit neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor dan menekan impor barang jadi.

Berdasarkan data pemerintah, realisasi pasokan gas 2019 untuk sektor Industri dan kelistrikan sebesar 3.456,47 BBTUD, melalui penyaluran langsung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada konsumen sebesar 2.343,37 BBTUD, melalui PGN sebesar 845,17 BBTUD, Pertagas sebesar 77,1 BBTUD, dan melalui badan usaha niaga gas lain sebesar 190,83 BBTUD.

Harga gas yang mencapai di atas US$ 7 per MMBTU sudah cukup lama dituding jadi biang kerok kondisi tersebut. Ditambah dengan kehadiran pandemi Covid-19 tentu makin membuat industri nasional merasa putus harapan. Alih-alih bersaing dengan hasil industri luar negeri untuk sekedar bertahan saja dipastikan sulit.

Lembaran baru harga gas nasional sebenarnya dimulai pada awal tahun ini ketika digelar rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2020. Dalam rapat tersebut presiden meminta penyesuaian harga gas harus segera diselesaikan dalam waktu tiga bulan. Ini merupakan ultimatum keras dari presiden yang sangat menginginkan adanya perubahan.

Komponen harga gas bumi hilir (titik serah konsumen) terdiri atas harga gas hulu ditambah biaya penyaluran (transmisi, distribusi dan niaga).

Pemerintah akhirnya mengkaji tiga mekanisme yang bisa dijadikan cara untuk menurunkan harga gas yaitu mengurangi bagian negara dan efisiensi penyaluran gas; mewajibkan KKKS untuk memenuhi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) gas; serta memberikan kemudahan bagi swasta untuk impor gas.

Kegelisahan para pelaku usaha akhirnya terjawab pada April lalu. Ini sekaligus jadi angin segar lantaran pagebluk Covid-19 kala itu benar-benar terasa dampaknya. Konsumsi masyarakat juga menurun drastis, membuat industri kebakaran jenggot karena di sisi lain harga bahan baku gas tinggi.

Untungnya industri tertentu terdiri dari tujuh sektor yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet yang merupakan industri utama nasional mendapatkan jaminan harga gas nya dari pemerintah maksimal sebesar US$ 6 per MMBTU.

Untuk menjamin itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan beberapa peraturan yang mengatur pemanfaatan dan penetapan harga gas bumi. Kemudian pemerintah juga akhirnya memilih mekanisme penurunan harga dengan mengurangi bagian Negara di hulu serta efisiensi penyaluran gas.

Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri . Tidak hanya itu, bonus diberikan dengan penerapan harga serupa untuk pembangkit listrik dengan diterbitkannya Permen 10 tahun 2020. Tentu dengan listrik yang murah tidak hanya masyarakat tapi industri juga harusnya dapat kepastian harga listrik yang terjangkau. Kemudian diterbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 89 K/10/MEM/2020, Kepmen ESDM No. 90 K/10/MEM/2020, dan Kepmen ESDM No. 91 K/12/MEM/2020 sebagai aturan pelaksana kebijakan tersebut.

Strategi penurunan harga gas di hulu menjadi US$4 – 4,5 per MMBTU melalui pengurangan porsi pemerintah dan penurunan biaya penyaluran menjadi US$1,5 – 2 per MMBTU dipilih, sehingga harga gas di plant gate atau konsumen menjadi US$6 per MMBTU. Di era pandemi Covid-19 ini harga gas US$6 per MMBTU sangat berarti bagi para pelaku usaha.

Yustinus Gunawan, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran Pengaman (AKLP),  mengungkapkan porsi gas dalam produksi kaca lembaran pengaman mencapai 25%. Tentu dengan harga gas terjangkau dapat menekan biaya produksi cukup signifikan. “Porsi gas dalam biaya produksi sekitar 25%, harga lama gas US$ 8,17 – US$9,18  turun ke US$ 6 per MMBTU,” kata Yustinus kepada Dunia Energi, Rabu (19/8).

Kaca lembaran pengaman merupakan bagian dari industri kaca. Produksinya sangat bergantung pada proses pemanasan karena itu membutuhkan  energi yang sangat banyak. Salah satu konsumen utama industri ini adalah para produsen mobil nasional dan kontraktor gedung-gedung.

Yustinus meyakini dengan harga gas seperti ini maka daya saing industri kaca jauh lebih meningkat. Industri kata dia sudah lama menantikan kebijakan ini yang sebenarnya sudah diperintahkan oleh presiden sejak 2016 lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016.

Lebih lanjut dia berharap bahwa aturan ini bisa konsisten berlaku serta tanpa adanya pungutan biaya tambahan. “Pasti daya saing industri akan meningkat dengan harga ini. Harapannya konsistensi penerapan harga US$ 6 per MMBTU,” kata Yustinus.

Kuntari, Senior Vice President (SVP) Pengembangan Korporat PT Pupuk Indonesia, mengatakan strategi Pupuk Indonesia ke depan tidak hanya melakukan optimalisasi konsumsi gas. Perusahaan berencana untuk melakukan ekspansi sejumlah pabrik pupuk, dengan adanya kepastian penurunan harga gas tentu membuat keekonomian dalam revitalisasi pabrik menjadi lebih baik.

“Kami juga dalam waktu dekat melakukan revitalisasi pabrik urea yang konsumsi gasnya lebih banyak. Ini kami mau revitalisasi. Dengan adanya penurunan gas ini kami lakukan studi jadi keekonomian pabrik jadi baik. Harga Pokok Produksi (HPP) maka akan lebih baik lagi,” ungkap Kuntari.

Dalam kajian Pupuk Indonesia, dalam satu  tahun penghematan dari penerapan harga gas maksinal US$6 per MMBTU bisa mencapai Rp1,4 triliun jika menghitung berdasarkan tonase subsidi pupuk saat ini yang mencapai 7,9 juta ton. Komponen biaya gas sendiri memiliki porsi mencapai 70% dalam struktur biaya produksi. Selain pembangkit listrik, pupuk memang merupakan konsumen gas yang utama karena mampu menyerap gas dalam volume besar.

Pupuk Indonesia juga optimisitis dengan HPP yang lebih baik maka ujungnya harga pupuk yang dijual kepada petani juga bisa ditekan.

“Akan kami perbaiki kedepan HPP. Jadi dengan harga gas murah, kami juga melakukan support untuk memberikan akses pupuk murah,” kata dia.

Pengurangan bagian negara untuk turunkan harga gas dilakukan melalui suatu kesepakatan tambahan dalam bentuk Side Letter of PSC – yang disepakati antara KKKS dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Side letter ini bersifat terbatas, tanpa merubah isi PSC secara keseluruhan, namun memiliki kekuatan hukum yang sama dengan PSC, sehingga dapat memberikan kepastian hukum sebagai jaminan atas investasi yang telah dilakukan dan akan dilakukan oleh KKKS.

Sejauh ini sudah ada 59 Letter of Agreement/Side Letter of Agreement (LoA) yang ditandatangani antara penjual dan pembeli gas. Kemudian sudah ada 23 penandantanganan Side Letter atas kontrak bagi hasil (PSC) antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Total volume gas dari seluruh LoA yang telah ditandatangani mencapai 2.135 BBTUD. Kemudian total volume gas telah dilakukan penyesuaian mencapai 2.497 BBTUD atau hampir 45% dari target lifting gas dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2020.

Pemerintah mengakui penyesuaian harga gas ini akan berpengaruh terhadap penurunan pendapatan Pemerintah dari sisi hulu migas, akan tetapi di sisi lain juga akan menghemat pengeluaran Pemerintah khususnya pada anggaran subsidi (listrik dan pupuk) serta kompensasi (listrik). Sedangkan untuk sektor industri diharapkan akan berdampak positif pada pendapatan Pemerintah dari peningkatan pajak dan deviden. Jadi ikhtiar yang dilakukan tidak akan sia-sia.

Selain itu terdapat pula penghematan anggaran dari konversi pembangkit BBM ke gas, karena akan menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.

Berdasarkan data Kementerian ESDM dampak penyesuaian harga gas dari sektor industri dan kelistrikan untuk tahun 2020-2024 negara berpotensi memperoleh kelebihan sebesar Rp3,25 triliun.

Jumlah itu berasal dari penghematan sebagai dampak penurunan harga gas sebesar Rp125,03 triliun dikurangi penurunan penerimaan negara akibat penurunan harga gas sebesar Rp121,78 triliun. Perhitungan ini belum termasuk multiplier effect dari penurunan harga gas di sektor industri seperti penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri.

Sumber : Kementerian ESDM, diolah : Dunia Energi

 

Daya Saing

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, mengungkapkan sektor hulu migas memang berperan penting dalam eksekusi kebijakan ini. Dia berharap SKK Migas dan para KKKS bisa terus berkoordinasi agar kebijakan ini tidak berdampak bagi KKKS.

Di sisi lain dengan penyesuaian harga gas maka salah satu masalah klasik yang selama ini ditemui KKKS yakni mencari konsumen gas bisa teratasi. Harga murah tentu memicu gairah para pelaku usaha untuk mengalihkan bahan baku maupun bahan bakarnya ke gas, sehingga permintaan akan gas juga bisa meningkat.

“Pemerintah selalu memberikan dukungan penuh terhadap upaya yang dilakukan oleh SKK Migas bersama KKKS dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi migas nasional khususnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri,” ujar Arifin.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas,  mengatakan pemerintah sudah bsrkomitmen tidak akan menganggu bagi hasil bagian kontraktor dalam kebijakan harga gas murah. Ini penting karena berhubungan langsung dengan kontrak dan kepastian usaha bisnis hulu migas. Jika terjadi gangguan maka iklim investasi hulu migas yang sedang ditata agar lebih baik juga bisa langsung terdampak.

“Saat ini seluruh pihak bekerja keras untuk memulihkan perekonomian negara akibat pandemi Covid-19, SKK Migas berharap dengan penyesuaian harga gas yang dilakukan ini diharapkan akan memberikan dampak yang jauh lebih besar lagi bagi negara melalui tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri serta berkurangnya beban subsidi dan kompensasi pada sektor pupuk dan kelistrikan” kata Dwi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute,  menuturkan beberapa industri sudah membutuhkan campur tangan pemerintah untuk turunkan harga gas. Untuk itu inisiatif pemerintah untuk menurunkan harga gas cukup baik dengan memilih mekanisme mengurangi bagian negara di hulu gas yang dinilai tepat.

“Kalau mekanisme yang dipilih (kurangi bagian pemerintah) merupakan opsi yang paling memungkinkan saat ini. Jika opsinya mengurangi bagian kontraktor risikonya makin menambah disinsentif bagi industri hulu gas,” kata Komaidi.

Menurut dia, penurunan harga gas harusnya memberikan dampak, terutama dari sisi daya saing. Apalagi untuk beberapa industri yang biaya gas dalam struktur biaya produksi mereka cukup besar.

Komaidi menyarankan agar industri juga tidak berpangku tangan terus. Mereka juga sebaiknya membuat kajian tentang biaya, dan manfaat penggunaan gas yang harus diperkuat lagi.

“Harus dipastikan bahwa apa yang dikorbankan pemerintah untuk tidak menerima pendapatan dari hulu gas memang benar-benar dapat terkompensasi dari penerimaan pajak dan lainnya akibat perbaikan daya saing industri pengguna gas,” kata Komaidi.(Rio Indrawan)