JAKARTA – Impor minyak yang dilakukan PT Pertamina (Persero) hingga akhir 2018 diproyeksikan akan lebih besar dibanding tahun lalu. Apalagi kebijakan pembelian minyak oleh Pertamina dari jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga akan memiliki tantangan tersendiri.

“Dalam implementasinya tidak sederhana karena harus melalui negosiasi seperti proses bisnis pada umumnya,” ujar Komaidi Notonegoro, Ditektur Eksekutif Reforminer Institute kepada Dunia Energi, Kamis (27/9).

Komaidi mengatakan jika kesepakatan tidak mudah dicapai, mau tidak mau impor harus dilakukan. Selain itu, meskipun kesepakatan dengan KKKS bisa dicapai, impor juga masih diperlukan lantaran kebutuhan masyarakat juga meningkat.

“Produksi domestik sudah tidak mencukupi untuk tingkat konsumsi saat ini,” tukasnya.

Data Pertamina menyebutkan, hingga Agustus 2018 rata-rata impor minyak mentah Pertamina sebesar 351 ribu barrel per hari (bph). Angka tersebut lebih rendah dibanding 2017 yang tercatat sebesar 360 ribu bph.

Namun, untuk impor produk dari gasoline, gasoil hingga avtur total rata-rata impor per hari sepanjang Januari hingga Agustus 2018 sebesar 393 ribu bph ini meningkat dibanding rata-rata impor pad tahun lalu sebesar 370 ribu bph. Hingga Agustus rata-rata impor gasoline Pertamina sebesar 316 ribu bph, gasoil 41 ribu bph dan avtur 36 ribu bph. Kemudian gasoil untuk FAME 44 ribu bph.

Hingga Agustus, banyaknya minyak yang masuk dan dikelola oleh kilang-kilang Pertamina mencapai 907 ribu bph. Selain dari impor minyak mentah dengan rata-rata 351 ribu bph, pasokan minyak diperoleh dari produksi Pertamina rata-rata 134 ribu bph dan minyak jatah negara sebesar 422 ribu bph.

Hasil dari pengolahan minyak itu menghasilkan produk berupa gasoline dengan rata-rata 268 ribu bph, gasoil 380 ribu bph dan avtur 72 ribu bph.  Sehingga rata-rata penjualan produk jadi yang dijual Pertamina total hingga Agustus adalah 1,157 juta bph dengan perincian gasoline 584 ribu bph, 464 ribu bph, 109 ribu bph.

Realisasi hingga Agusrus ini lebih tinggi dibanding realisasi sepanjang 2017 yang rata-rata penjualan mencapai 1,1 juta bph.

Impor minyak menjadi salah satu faktor yang membuat neraca perdagangan Indonesia kembali dalam kondisi defisit.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan sebesar US$1,02 miliar pada Agustus 2018. Impor migas yang didominasi minyak mencapai US$3,04 miliar, sementara ekspor hanya US$1,38 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan menjadi minus sebesar US$1,66 miliar.(RI)