JAKARTA – Memegang kepemimpinan di G20 pada 2022 dan akan menjadi ketua ASEAN pada 2023, Indonesia mempunyai peluang besar mendorong negara lain untuk bertransisi energi dengan memutakhirkan Nationally Determined Contribution (NDC) dan target iklimnya untuk mengejar nir emisi pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Hal yang sama juga dilakukan oleh negara Amerika Serikat (AS) yang sejak kepemimpinan Biden, kembali masuk dalam Persetujuan Paris. AS juga menetapkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 50-52% di tahun 2030 dibandingkan pada 2005, 100% listrik berasal dari energi bersih pada 2035 dan mencapai nir emisi pada 2050.

Menurut Nathan Hultman, Pendiri dan Direktur Center for Global Sustainability Universitas Maryland, dalam mencapai target tersebut dan menyukseskan transisi energi perlu peran semua pihak seperti pemerintah nasional, dan pemangku kepentingan termasuk sektor swasta, pemerintah daerah, dan semua masyarakat.

“Pengalaman setiap negara berbeda, tetapi kita semua memiliki peluang. Selama era Trump, kebijakan iklim AS mengalami kemunduran. Namun selama era tersebut, masyarakat, kelompok sub-nasional, bisnis dan industri yang mendorong dan melakukan berbagai inisiatif mitigasi iklim yang akhirnya membuat presiden berikutnya kembali ke komitmen perubahan iklim,” ujar Hultman,dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP), Selasa (13/9/2022).

Hultman menjelaskan pemerintahan AS melakukan beberapa hal untuk mewujudkan target iklimnya seperti dengan membangun kebijakan yang saling melengkapi satu sama lain, komitmen politik yang kuat dalam jangka panjang, menciptakan pembelajaran di lebih banyak bidang dengan lebih cepat, serta fleksibel di bidang ekonomi.

AS juga mengeluarkan undang-undang infrastruktur, investasi dan pekerjaan (Infrastructure Investment and Jobs Act/IIJA)) pada 2021 yang mencakup biaya sekitar US$500 miliar untuk meningkatkan infrastruktur yang akan mempercepat pengembangan energi bersih dan akan mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan melalui peningkatan infrastruktur. Terbaru, pada 2022 AS menerbitkan undang-undang pengurangan inflasi (Inflation Reduction Act) dengan insentif senilai US$370 miliar untuk teknologi bersih rendah karbon dan transisi energi di semua sektor dan penurunan GRK sampai tahun 2030.

Hultman menekankan bahwa AS mempunyai komitmen yang serius untuk mendukung upaya transisi energi di negara berkembang, diantaranya dengan bermitra dengan G7 untuk mendukung Indonesia melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk memobilisasi keuangan, dan melalui program pemerintah yang sedang berlangsung serta dalam konteks negosiasi internasional.

“Kita semua sedang belajar tentang bagaimana jalur transisi yang tepat dan sesuai konteks di Indonesia. Beberapa peluang di area yang bisa berkolaborasi seperti pada pensiun PLTU batubara, pengembangan energi terbarukan, sektor yang sulit di dekarbonisasi seperti industri, lahan dan kehutanan, dan pembiayaan transisi energi, bagaimana lebih baik lagi dan secara konkrit mengaplikasikan pembiayaan untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam beberapa waktu ke depan,” ujarnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyebutkan JETP dapat mendukung percepatan transisi energi di Indonesia sepanjang JETP menghasilkan pembiayaan yang konkrit untuk penghentian pengoperasian PLTU secara bertahap dan akselerasi pembangunan energi terbarukan serta modernisasi jaringan (grid).

“JETP juga perlu mepertimbangkan untuk mengantisipasi dampak sosial dari penutupan PLTU dan tambang batubara,” ujar Fabby.

Fabby menambahkan agar JETP dapat berperan signifikan dalam transisi energi di Indonesia, maka sebaiknya pemerintah Indonesia melalui Presiden Indonesia dapat membentuk Komite Transisi Energi untuk menyiapkan JETP dan bernegosiasi dengan negara-negara donor dan pihak-pihak yang berminat mendukung pembiayaan transisi energi Indonesia.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengungkapkan bahwa dukungan AS akan mampu mempercepat transisi energi global.

“Dukungan Amerika sebagai salah satu ekonomi terbesar pada pemanfaatan teknologi rendah karbon (seperti di Inflation Reduction Act) dapat berimplikasi pada percepatan inovasi dan juga menurunkan biaya teknologi dalam jangka panjang. Hal ini berpotensi juga untuk mendukung dan mempercepat transisi energi global,” ungkap Deon.

Senada, Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden pada kesempatan yang sama menyebutkan bahwa Indonesia sebagai pemimpin G20 akan terus mendorong kolaborasi, solidaritas, melalui kepemimpinan bersama untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.(RA)