JAKARTA – Pemerintah berencana untuk menambah industri yang bisa menikmati harga gas murah yakni maksimal US$6 per MMBTU. Untuk tahun ini penambahan industri sudah diusulkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan telah masuk pembahasan bersama lintas Kementerian dan Lembaga.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Monetisasi dan Keuangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan pembahasan sudah masuk tahap lanjut dimana ada 13 industri yang diusulkan. Namun dari hasil evaluasi jumlah industri yang akan dapatkan harga gas khusus beru 10 industri yang baru mendapatkan lampu hijau mendapatkan jatah harga gas murah.

“Kita intens rapat dengan Kemenperin, Kemenkomarves, Kementerian investasi dan Kementrian ESDM untuk membahas tambahan-tambahan usulan dari Kemenperin. tambahan kurang lebih yang diusulkan sekarang adalah 13 industri tambahan. Kita masih garap kurang lebih juga kita menyetujui baru ancer-ancer 10 industri, ini belum final. Masih pembahasan,” jelas Arief disela konferensi pers, Senin (17/1).

Arief menuturkan sepanjang 2021 tercatat volume serapan sektor industri mencapai 85% dari total alokasi. Masih belum terpenuhinya serapan ini dinilai akibat pandemi yang masih mempengaruhi suplai gas dari hulu ke hilir.

“Industri juga belum naik signifikan jadi serapan 85% dari yang kita rencanakan,” ujar Arief.

Salah satu poin utama pembahasan adalah terkait konsekuensi pemberian harga gas khusus kepada industri yang berakibat terhadap penerimaan negara dari subsektor hulu migas yang tergerus.

Menurut Arief para kontraktor hulu migas sudah memiliki kontrak yang jelas terkait pendapatan yang telah disepakati dimana hal itu juga berhubungan langsung terhadap hak atau bagian negara. Namun adanya kebijakan harga gas pemerintah telah berkomitmen untuk menghormati kontrak yang ada sehingga akibatnya penerimaan negara yang direlakan.

Di sisi lain pemerintah berupaya agar kebijakan harga gas khusus industri juga tidak serta merta menghabiskan jatah penerimaan negara dari hulu migas.

Arif menjelaskan SKK Migas bersama dengan Kementerian ESDMharus menjaga agar penerimaan negara tidak sampai minus akibat harga gas khusus. Tahun lalu saja penerimaan negara dari hulu hilang US$1,2 miliar sebagai konsekuensi penerapan harga gas khusus.

“Ada penurunan penerimaan negara kurang lebih US$ 1 miliar hingga US$ 1,2 miliar di 2021 dan di 2022 kemungkinan bertambah seiring bertambahnya usulan dari Kemenperin untuk perusahaan yang masuk dalam kategori 7 industri,” kata Arief.

Menurut dia, negara sudah banyak berkorban untuk memberikan insentif kepada kontraktor tapi di sisi lain kebijakan harga gas untuk industri juga penting sehingga tidak mudah industri mana saja yang berhak dapatkan harga gas murah karena harus dilihat secara luas manfaat yang akan didapatkan ketika harga gas murah sudah diberikan.

“Karena kita harus hitung apa yang diterima di Kemenkeu dari penerimaan migas itu dengan dikurangi kewajiban-kewajiban negara yang dilakuakn dirjen anggaran seperti misalnya pajak PPn, reimbursement dari KKKS yang harus kita bayar. Over liftingnya government sehingga harus dikembalikan juga ke KKKS kemudian ada juga DMO fee yang harus kita bayar juga ke KKKS termasuk di dalamnya ada fee penjualan migas. itulah yang harus kita hitung bersama Kemenkeu agar kebijakan penurunan harga gas ini tidak jadikan penerimaan negara sektor migas ini minus,” jelas Arief.

Arief mengungkapkan, meskipun ada potensi penerimaan negara dari sektor migas tergerus, pemerintah di sisi lain juga berharap adanya peningkatan penerimaan dari sektor pajak oleh industri.

“Penurunan beban APBN untuk subsidi pupuk dan subsidi serta kompensasi listrik. Inilah yang kita evaluasi sebelum (pastikan) kebijakan atau tambahan industri tertentu yang akan dapatkan harga US$ 6 per MMBTU,” jelas Arief. (RI)