JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui dalam empat tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo belum terlihat peningkatan investasi di sektor hulu migas. Namun itu lebih dipengaruhi kondisi ekonomi dunia, terutama harga minyak.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan peningkatan harga minyak dunia yang kembali naik baru akan dirasakan pada investasi paling tidak di 2019 atau 2020.

“Kalau kami lihat dipicu dari 2011-2012. Harga minyak mentah mencapai US$100 per barel atau lebih. Akhirnya, keputusan investasi mengikuti. Begitu harga minyak turun hingga akhirnya 2017 naik lagi. Refleksinya di 2019 atau 2020. Kalau lihat cycle-nya investasi, terutama dilakukan setelah harga minyak tinggi,” kata Jonan disela paparan kinerja empat tahun pemerintahan Jokowi-JK di Jakarta, Rabu (24/10).

Data yang dirilis Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyebutkan, hingga kuartal III 2018 realisasi investasi baru mencapai 56% dari target atau US$7,9 miliar dari target US$14,2 miliar. Hingga akhir 2018, investasi diprediksi hanya mencapai US$11,2 miliar.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi dalam empat tahun terakhir terus terkoreksi.

Pada 2014, investasi yang tercatat sebesar US$21,7 miliar, kemudian turun menjadi US$17,9 miliar di tahun berikutnya. Pada 2016, investasi makin turun drastis menjadi US$12,7 miliar dan tahun lalu investasi migas hanya US$11 miliar.

Gross Split

Jonan menegaskan tren penurunan investasi hulu migas tidak ada hubungannya dengan penerapan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split.

Pemerintah ingin membantu kontraktor melalui gross split yang dalam mekanismenya mampu memangkas berbagai proses berbelit yang selama ini harus dilalui saat masih berada dalam rezim cost recovery.

“Cost recovery distorsinya sangat besar. Bayangkan, semua investasi harus disetujui SKK Migas dan mengikuti peraturan pemerintah,” ungkap Jonan.

Dengan proses seperti itu tentu kendala birokrasi tidak akan bisa dihilangkan. Misalnya, penggunaan suatu peralatan saja harus persetujuan SKK Migas. Padahal industri migas sangat rentan terhadap waktu. Semakin lama waktu maka biaya semakin besar. Nantinya akan terdampak juga terhadap cost recovery yang harus dibayarkan pemerintah.

Belum lagi dengan adanya perdebatan terkait nilai cost recovery itu sendiri. Ujungnya pengembalian ke kontraktor juga akan lama dan tentu menimbulkan inefisiensi, baik dari sisi waktu juga dari sisi biaya.

“Satu pengadaan bisa bertahun-tahun. Akhirnya kami minta gross split agar kontraktor migas pengadaannya sendiri,” kata Jonan.

Sejak penerapan gross split pada 2017 sudah 25 blok migas yang menggunakan skema tersebut. Lima blok migas hasil lelang 2017 dan satu blok migas yang terminasi pada 2017. Serta empat blok migas hasil lelang 2018, enam blok migas terminasi 2018, empat blok migas terminasi 2019, empat blok terminasi 2020 lalu satu blok terminasi 2021.(RI)