JAKARTA – Pernyataan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Jepang beberapa waktu lalu mengenai percepatan pengembangan blok Abadi Masela ternyata bukan sekedar himbauan. Jokowi ternyata sudah membahas Masela dengan Fumio Kishida, Perdana Menteri Jepang.

Informasi yang diperoleh Dunia Energi, kedua kepala negara sepakat agar proyek Masela bisa lanjut. Salah satu percepatannya adalah dengan membeli Participating Interest (PI) yang dimiliki oleh Shell yang sudah terang-terangan tidak lagi memiliki rencana di blok Masela dan ingin segera melepas PI-nya di sana.

Jokowi dan Kishida dilaporkan telah sepakat agar Jepang memberikan pinjaman yang besarannya maksimal sekitar kepada Indonesia yang nantinya bisa digunakan perusahaan Indonesia untuk mengakuisisi PI Shell. Perusahaan asal Belanda itu kini memiliki PI sebesar 35% di Masela.

Nantinya ada dua entitas yang tengah dikaji untuk memiliki PI Masela yakni Indonesia Investment Authority (INA) dan PT Pertamina (Persero). Pertamina sendiri saat ini dikabarkan sedang mempelajari peluang untuk memiliki PI di Masela dan akan memberikan jawaban pada bulan September mendatang.

Sejak tahun 2020 Shell sudah mengutarakan langkahnya untuk meninggalkan Inpex dalam proyek Masela. Terakhir, Shell dikabarkan siap untuk terlebih dulu mempersiapkan pengembangan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) untuk diterapkan di Masela. Lantaran itu jadi jalan keluar bagi perusahaan asal Belanda itu bisa segera melapas PI-nya.

Hingga berita ini ditulis, Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan informasi mengenai kemungkinan Pertamina atau INA memiliki PI menggantikan Shell di Masela belum sampai dibahas di SKK Migas. “Saya tidak tahu, perihal (Pertamina dan INA di Masela) belum ada informasi,” kata Dwi kepada Dunia Energi, Jumat (19/8).

Sementara Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, menuturkan juga belum mendapatkan informasi terbaru mengenai perkembangan pelepasan PI Shell di Masela. “Saya tidak tahu terkait urusan PI Masela,” kata Fatar.

Sebelumnya, Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengungkapkan ada satu arahan presiden kepada jajarannya menindaklanjuti pertemuan dengan perdana menteri Jepang terkait pengelolaan blok Masela yaitu penunjukkan pengusaha dalam negeri untuk jadi mitra Inpex yang saat ini menjadi operator pengelola blok Masela.

INPEX Corporation dan Shell Upstrem Overseas Services Ltd, memang saat ini masih tercatat sebagai konsorsium perusahaan pengelola Lapangan Abadi, Blok Masela. Namun Shell telah secara resmi menyatakan untuk keluar dari proyek Masela dan pemerintah Indonesia mewajibkan Shell untuk mencari terlebih dulu penggantinya sebelum angkat kaki dari Masela.

Menurut Bahlil presiden mendorong selain pengusaha nasional, BUMN juga terlibat dalam pengelolaan blok Masela. “Kita tahu semua konsorsium inpex keluar presiden perintahkan yang keluar digantikan pengusaha nasional baik melalui INA maupun BUMN harapannya kalau mampu menciptakan produksi migas dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Bahlil.

Blok Masela memang tidak pernah mulus pengembangannya. Pada September 2015, Inpex mengajukan revisi rencana pengembangan (Plan of Dvelopment/PoD) yang isinya terdapat peningkatan kapasitas produksi lebih besar dari 7,5 metrik ton per annum (MTPA) LNG. Kemelut sempat terjadi karena ada usulan untuk mengubah skema pengembangan dari semula dilakukan melalui pengembangan di laut menjadi di darat.

Pemerintah pun akhirnya memutuskan skema pengembangan Blok Masela harus membangun fasilitas di darat. Artinya, Inpex harus kembali mengubah perencanaan pembangunan fasilitas pengembangan. Inpex menyanggupi permintaan perubahan skema tersebut, namun dengan catatan kapasitas LNG meningkat menjadi 9,5 MTPA. Jumlah tersebut dinilai lebih sesuai dengan nilai keekonomian yang diharapkan Inpex.

Pemerintah akhirnya memberikan persetujuan kepada Inpex untuk melakukan kajian pembangunan fasilitas dengan kapasitas 9,5 MTPA LNG dan 150 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas pipa. Padahal sebelumnya pemerintah bersikeras agar LNG yang diproduksikan sebesar 7,5 MTPA dan gas pipa sebesar 474 mmscfd. Proyek yang diperkirakan menghabiskan biaya investasi mencapai US$20 miliar tersebut ditargetkan bisa mulai memproduksi gas pada 2027-2028

Shell sebagai mitra dari Inpex Corporation memiliki PI sebesar 35% di blok Masela. Berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, salah satu penyebab Shell ingin melepas PI nya adalah lantaran pemerintah merubah skema pembangungn dan offshore ke onshore. Shell diketahui sudah kadung menyiapkan teknologi untuk dengan konsep pengembangan lapangan Abadi secara offshore. Karena itu keputusan pemerintah dikabarkan cukup mengecewakan pihak Shell.

Proyek lapangan gas Masela merupakan salah satu proyek terbesar di Indonesia dengan potensi cadangan gas terbesar yang pernah ditemukan mencapai lebih dari 10 triliun cubic feet (TCF). Proyek ini juga menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang saat ini telah memasuki tahap pengadaan lahan untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan produksi gas berupa kilang LNG di Pulau Tanimbar. (RI)