JAKARTA – Pemerintah diminta lebih tegas dalam menertibkan kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Salah satu keseriusan yang bisa ditunjukkan adalah melalui pembentukan satuan tugas (Satgas) khusus yang terdiri dari berbagai unsur pemerintah dan masyarakat. Jika tidak maka jangan harap PETI bisa diberantas secara maksimal.

“Perlu dibentuk satgas penanggulangan Peti yang terdiri atas kemenko marves, kemenko polhukam, Kementerian ESDN, Polri, TNI, Kejaksanaan, Kemdagri, Kementerian BUMN, KLHK, perwakilan perguruan tinggi, perwakilan masyarakat sipil,” kata Ahmad Redi, Pengamat Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara disela Webinar Berantas Tuntas Pertmbangan Tanpa Izin, Kamis (28/7).

Selain itu, pemerintah daerah kata dia perlu lebih banyak ambil inisiatif pencegahan. Redi menilai perlu ada penetapan Perda WPR dan fasilitasi penerbitan IPR bagi masyarakat penambang kecil/rakyat harus menjadi program prioritas Pemprov. “Pengawasan yang tegas dan konsisten perlu dilakukan oleh pihak berwenag,” ungkapnya.

PETI kata Redi memang punya karakter khusus, bekerja secara individu bahkan korporasi. Jika secara korporasi modusnya itu menambang di luar WIUP-nya karena sudah habis sumber cadangannya.

“Yang memang hari ini menjadi masalah sosial adalah yang dilakukan kelompok kecil. Sehingga ada 200 ribu orang yang potensial masuk penjara. Karakter PETI lazimnya menjalan kegiatan di sekitar wilayah pertambangan yang memiliki izin resmi atau di daerah tertentu berisi potensi tambang,“ ungkap Redi.

Sementara itu, Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI), menjelaskan bahwa PETI seringkali marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Disparitas harga tinggi memberikan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak kegiatan di titik pertambangan tanpa izin di sektor mineral. Meski banyak di konsesi penambangan mineral dibanding batu bara, namun nilai kerugian lebih masif di batu bara. “PETI tidak hanya merugikan penambang, tapi juga negara dan masyarakat,” kata dia.

Kompol Eko Sunanda, Kanit 3 Subdit V/SDA   Dit Tipidter Bareskrim Polri, menuturkan pemberantasan PETI harus dieksekusi secara serentak. Tidak bisa hanya aparat penegak hukum berjalan sendiri. Pasalnya selama ini yang jadi faktor utama adanya tindakan PETI adalah ekonomi atau kesejahteraan.

“Jadi kami kalau bertindak sendiri kami tegas masuk ke tanah yang mereka klaim nanti kami yang dibilang melanggar HAM. Kemudian harus serentak, kalau tegas tangkap semua penambang ilegal jangan pekerjaan lainnya yang dijanjikan untuk dia mendapatkan mata pencaharian baru ada 2 tahun lagi, kan nggak bisa seperti itu,” ungkap Eko.

Antonius Agung Setijawan, Inspektur Tambang Ahli Madya Ditjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM, menyatakan
strategi pemerintah untuk landasan hukum dalam memberantas PETI adalah pasal tindak pidana PETI adalah UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Sayangnya landasan tersebut tidak cukup kuat untuk menindak para pelaku tambang ilegal. “Amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya. Penafsiran kami adanya kegiatan PETI ini masuk ranah pidana,” tegas dia.

Menurutnya jika dibandingkan dengan sektor kehutanan atau kelautan, PETI ini sangat berbeda. Di kehutanan ada perangkat untuk mengamankan hutan, demikian juga wilayah laut. “UU No. 3/2020 bukan UU kewilayahan, tapi UU Pengelolaan untuk mengusahakan minerba,” kata Antonius. (RI)