JAKARTA – Industri hulu migas menjadi salah satu sektor yang menjadi fokus dalam impelementasi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) guna mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat seperti yang dipatok oleh pemerintah.

Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menjelaskan salah satu harapan besar dalam penerapan CCUS adalah rencana pengembangannya antara Pertamina dan Exxonmobil. Menurut dia pengembangan teknologi CCS/CCUS saat ini telah dilakukan Australia dan diharapkan Indonesia dapat segera melakukan hal tersebut dengan harga yang terjangkau.

“Ïndonesia harus segera membuat prototipe CCS/CCUS yang kemarin direncanakan dibangun Exxon Mobil (yang menggandeng PT Pertamina) di mana untuk tipe di Australia harganya masih tinggi yaitu US$100 per ton. Namun dengan teknologi baru yaitu pencampuran hidrogen dan ammonia, maka biaya CCS/CCUS bisa ditekan ke US$25 per ton,” kata Airlangga dalam keterangannya (20/2).

Menurut dia Indonesia mendorong strategi lain dalam emisi karbon terutama di PLTU. “Antara lain dengan memanfaatkan CCS/CCUS, pembatasan flaring (dalam kegiatan migas) dan optimalisasi gas bumi untuk rumah tangga dan transportasi,” ujar Airlangga.

Dengan pengembangan teknologi-teknologi semacam ini, Pemerintah berkeyakinan roadmap transisi energi dapat tercapai dalam waktu singkat. Presiden Joko Widodo juga telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pengesahan ini disampaikan oleh Presiden RI dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK. Penetapan aturan ini menjadi acuan agar investasi teknologi rendah karbon di berbagai sektor harus terus didorong.

Dukungan pengembangan energi rendah karbon juga datang dari kalangan industri. Menurut Menko, kalangan industri sudah mulai mempertanyakan basis energi yang digunakan untuk produk yang dihasilkan. “Industri sekarang juga sudah mulai mempertanyakan basis energi yang digunakan. Mereka berharap bahwa energi yang dijadikan input berbasis energi hijau,” kata Airlangga.

Kementerian ESDM telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral pada tahun 2060, melalui strategi utama antara lain dari sisi suplai adalah pertama, pengembangan EBT secara masif yang meliputi solar PV, angin, biomass, panas bumi, hidro, energi laut, nuklir, hidrogen, battery energy storage systems.

“Kedua, pengurangan pemanfaatan energi fosil, diantaranya melalui tidak ada penambahan pembangkit fosil baru kecuali yang telah berkontrak atau sedang konstruksi, retirement PLTU secara bertahap, konversi PLTD ke pembangkit EBT dan penerapan teknologi CCS/CCUS. Ketiga, pengembangan interkoneksi transmisi dan penerapan smart grid di pulau-pulau besar,” jelas Ego Syahrial, Sekretaris Jendral Kementerian ESDM.

Sedangkan dari sisi demand, antara lain melalui penerapan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemakaian kompor induksi, pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga dan penerapan manajemen energi serta Standard Kinerja Energi Minimum (SKEM). (RI)