JAKARTA – Pemerintah berencana kembali menerapkan tarif penyesuaian (adjustment) untuk golongan pelanggan 900 VA Rumah Tangga Mampu (RTM) hingga golongan diatasnya mulai 2020. Sebanyak 12 golongan pelanggan yang rencananya akan kembali merasakan mekanisme tarif yang seyogyanya telah dilaksanakan sejak 2015.

Pemberlakuan tarif adjustment akan langsung memberikan dampak kepada keuangan negara melalui penghematan dengan asumsi indikator pembentuk harga nilainya sesuai dengan perkiraan. Indikatornya adalah harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$60 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di level Rp14.000 per dolar AS.

Rida Mulyana Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan dampak pemberlakuan tarif adjustment  akan terjadi perubahan tarif dasar listrik di beberapa golongan masyarakat. Namun perubahan tersebut ditujukan untuk mengalihkan dana yang tadinya digunakan untuk membayar kompensasi kepada PT PLN (Persero) karena kebijakan pemerintah yang menahan harga tarif ke berbagai kegiatan yang langsung dirasakan masyarakat, terutama untuk biaya penyambungan listrik masyarakat yang tidak mampu.

Sejak pemerintah menahan kenaikan listrik nonsubsidi pada 2017 hingga akhir 2019, sebagian pendapatan PLN hilang karena harus menanggung selisih harga listrik yang dijual. Selisih tersebut akhirnya dibayarkan pemerintah kepada PLN dalam bentuk kompensasi. Dalam laporan keuangan 2018, PLN memasukkan kompensasi akibat tarif listrik yang ditahan sepanjang 2018 senilai Rp23 triliun.

Beban kompensasi hingga kuartal III 2019 mencapai Rp20,8 triliun. Besaran kompensasi tersebut bakal bertambah sebab pemerintah memutuskan hingga 2019 tidak ada kenaikan tarif listrik bagi pelanggan nonsubsidi.

Jika pada tahun depan penyesuaian tarif tidak juga diberlakukan, maka pemerintah kembali mensubsidi golongan 900 VA RTM yang sebenarnya masuk golongan nonsubsidi. Dalam data itu diperkirakan jumlah pengguna listrik 900 VA RTM mencapai 24,4 juta dengan total konsumsi listriknya mencapai 30,57 tWh.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM (Foto/Dunia Energi/Rio Indrawan)

Apabila tarif adjusment ini diberlakukan maka akan ada penghematan sekitar Rp 5,9 triliun dari 24,4 juta pelanggan yang bisa dialihkan untuk biayai penyediaan listrik bagi masyarkat yang belum menikmati listrik dan tidak mampu membiayai sambungan listrik dimana jumlahnya saat ini tercatat sebanyak 710.008 rumah tangga. Itu yang bisa diakses oleh jaringan PLN. Tapi ada juga sekitar 438.301 rumah tangga yang tersebar diberbagai wilayah yang belum dialiri listrik dan juga belum bisa dijangkau fasilitas listrik PLN sehingga harus disediakan jaringan listrik secara off grid.

“Ini (900 VA RTM) kan sudah mampu, jadi ya minta tolong juga patungan bantu saudara-saudara kita yang belum mendapatkan listrik sama sekali di daerah. Bahkan di kota juga ada, sedikit kok patungannya,” kata Rida di Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (4/7).

Dalam perhitungan Ditjen Ketenagalistrikan, potensi kenaikan tarif listrik jika tarif adsjument telah diimplementasikan adalah sekitar Rp 200 per kWh dari tarif listrik Januari hingga Juni 2019 Rp 1.352 per kWh menjadi Rp 1.552 per kWh, dengan catatan asumsi yang digunakan sesuai dengan kondisi real yakni ICP 60 per barel dan kurs Rp 14.000 per dollar AS.

“Kenaikanya Rp 200 per kWh atau 14,79 persen. Berarti dalam sebulan itu rata-rata sekitar Rp 21 ribu setiap pelanggannya,” kata Rida.

Menurut Rida, penetapan tarif adjusment tidak serta merta memberikan gambaran bahwa pemerintah lepas tangan terhadap kepentingan masyarakat, karena pad dasarnya nanti negara juga berpotensi menanggung bengkaknya subsidi bagi pelanggan yang masih mendapatkan subsidi. Saat ini masih ada sekitar 36,8 juta pelanggan yang masih berhak mendapatkan subsidi.

Setiap ada kenaikan ICP US$ 1 per barel, beban subsidi atau kompensasi bisa naik Rp 224 miliar. Sebaliknya, jika turun US$ 1 per barel, maka bebannya juga turun Rp 224 miliar. Jadi apabil ICP ternyata realnya nanti US$ 61 per barel, maka subsidi atau kompensasi nilainya akan naik Rp 224 miliar.

Lalu, setiap kenaikan kurs rupiah sebesar Rp 100 per dolar AS, akan mengubah subsidi hingga Rp 608 miliar. Itu artinya, jika asumsi Rp 14.000 per dolar AS, tapi di pasar rupiah bergerak Rp 14.100, itu artinya beban subsidi bertambah Rp 608 miliar. Selain ICP dan kurs, pemerintah masih memasukkan harga batubara US$ 70 per ton.

“Kami harap kurs rupiah semakin membaik, dan ICP turun jadi harga listrik juga bisa turun,” tukasnya.

Rida mengatakan, dengan penghematan yang didapat negara dari penyesuaian tarif golongan nonsubsidi, bisa menolong masyarakat yang belum sama sekali merasakan rumah yang dialiri listrik. “Ini bisa digunakan untuk saudara kita yang belum menikmati listrik. Poinnya sih itu,” katanya.(RI)