JAKARTA – Pemerintah mengkaji mekanisme baru pencatatan pasokan minyak mentah dalam negeri dari luar negeri yang merupakan jatah (entitlement) dari lapangan minyak yang dimiliki PT Pertamina (Persero). Hal itu dilakukan agar defisit neraca perdagangan migas bisa ditekan.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan satu cara yang saat ini dikaji pemerintah yakni minyak dari jatah Pertamina dari lapangan di luar negeri yang masuk ke Indonesia sebagai pemasukan devisa tidak lagi sebagai impor.

“Sedang merumuskan bagaimana caranya volume entitlement Pertamina luar negeri yang masuk ke dalam negeri dicatat sebagai devisa masuk bukan sebagai impor,” kata Arcandra ditemui di Kementerian ESDM Jakarta, Jumat (24/5).

Evaluasi terhadap pencatatan minyak mentah jatah Pertamina dari luar negeri baru pertama kali dilakukan. Pasalnya produksi Pertamina dari luar negeri juga baru dimulai pada 2015. Namun kini jumlah produksi di luar negeri terus meningkat, sehingga dilakukan kajian terhadap pencatatan di neraca perdagangan.

Pertamina memiliki beberapa lapangan produksi di luar negeri yang dikelola anak usahanya, PT Pertamina Internasional EP. Proyeksi rata-rata produksi mencapai 112 ribu barel per hari (bph). Pada 2019, Pertamina Internasional menargetkan bisa membawa delapan juta barel minyak ke Indonesia.

Pertamina Internasional beroperasi di 12 negara, menggarap langsung ladang migas atau melalui mitra di antaranya Irak, Aljazair, Malaysia, Kanada, Kolombia, Perancis, Gabon, Italia, Myanmar, Namibia, Nigeria dan Tanzania.

Menurut Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, defisit dari migas sebenarnya tidak terlalu lebar. Selama ini produksi Pertamina di luar negeri masih tercatat di impor, ini yang diusahakan agar bisa diubah.

“Sebetulnya, defisit migas kita tidak terlalu lebar. Masyarakat perlu tahu bahwa hasil eksploitasi minyak yang dilakukan Pertamina di luar negeri dan dibawa ke dalam negeri tercatat sebagai barang impor. Itulah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan menjadi lebar,” kata Darmin.

Pemerintah juga merumuskan beberapa kebijakan untuk merespon defisit migas, di antaranya sejak Mei 2019, terkait dengan pemanfaatan minyak mentah hasil eksploitasi di dalam negeri yang biasanya diekspor, sekarang sebagian diolah di dalam negeri untuk pasar dalam negeri.

Kemudian minyak mentah bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri yang selama ini diekspor, sebagian diolah di kilang Pertamina di dalam negeri. Hal ini akan mengurangi impor minyak mentah yang dibutuhkan Pertamina untuk memproduksi BBM, seperti solar dan avtur.

Pencatatan impor atas importasi minyak mentah dari investasi Pertamina di luar negeri tetap dicatat. Pencatatan atas importasi minyak mentah hasil investasi dari Pertamina di luar negeri tetap dicatat di neraca perdagangan. Selain itu hasil investasi dari Pertamina di luar negeri juga akan dicatat sebagai pendapatan primer di neraca pembayaran. Kedua, pencatatan tersebut sesuai dengan standar International Merchandise Trade Statistic (IMTS) dan standar Balance of Payment Manual IMF. Kemudian dengan pencatatan hasil investasi Pertamina tersebut, maka pendapatan primer di Neraca pembayaran akan meningkat sehingga dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit).(RI)