JAKARTA – Pemerintah mengakui tingginya harga batu bara dunia membuat distribusi batu bara untuk dalam negeri justru jadi terdampak.

Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menungkapkan tingginya harga di pasaran internasional membuat perusahaan batu bara cenderung akan memilih ekspor karena lebih menguntungkan.

Untuk antisipasi disparitas harga yang jauh itu Pemerintah mengusulkan adanya skema harga. Ada beberapa wacana penetapan skema harga. Pertama perlu adanya penetapan harga batas atas.

“Jadi nantinya saat harga naik, produsen batu bara berpotensi untuk mengindari kontrak dengan penggunaa batu bara dalam negeri. Oleh karena itu, jika ada ketetapan batas atas, bisa membuat mereka lebih tertarik untuk menyuplai dalam negeri,” kata Ridwan di Komisi VII DPR RI, Senin (15/11).

Berikutnya adalah penetapan batas atas dan batas bawah. Menurut Ridwan dengan adanya opsi ini maka ketika harga sedang turun juga bisa melindungi produsen batu bara agar tetap bisa beroperasi sesuai dengan tingkat keekonomiannya.

Skema ketiga dengan menyerahkan penetapan harga kepada hasil negosiasi antar produsen dan konsumen batu bara

“Biarkan saja kontrak penjualan ini kita serahkan secara B to B saja dengan fixed price tergantung kesepakatan para perusahaan dengan industri dalam negeri,” ujar Ridwan.

Penerapan kewajiban memasok batu bara ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) memang bukan tanpa kendala.

idwan menjelaskan kendala pertama adalah produksi dalam negeri sangat banyak, hanya saja serapan dalam negeri masih tidak maksimal. Apalagi, kalori yang diserap oleh dalam negeri juga merupakan kalori rendah.

“Spesifikasinya memang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Jadi produksi para perusahaan batu bara ini disatu sisi tidak bisa terserap semua dengan dalam negeri,” ujar Ridwan.

Kedua, tidak banyak perusahan batu bara yang bisa punya kesempatan untuk mendapatkan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri.