JAKARTA – Melimpahnya potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di tanah air tidak hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri akan tetapi juga menjadi peluang besar mendatangkan devisa baru bagi negara. Ekspor listrik dari Pembangkit listrik berbasis EBT sangat dimungkinkan jika dilihat dari proyeksi kebutuhan dengan ketersediaan pasokan listrik di masa yang akan datang.

Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan Indonesia memiliki potensi dari EBT mencapai 3.600 sampai 3.700 giga watt (GW), sementara di sisi lain, kebutuhan listrik Indonesia hingga 40 tahun ke depan hanya sekitar 700 Megawatt (MW). Menurut Dadan salah satu pangsa pasar potensial untuk menjadi market listrik EBT dari tanah air adalah Singapura.

“Sehingga kalau ditanya seberapa besar kita bisa ekspor ya kira-kira itu selisihnya kita punya 3.600 GW tapi kita butuhnya sebanyak 700 MW. Tapi angkanya memang tidak bisa dikurangkan langsung, nanti sebetulnya yang kita butuhkan bukan MW tapi satuan listriknya dalam satuan kWh. Jadi kalau ditanya seberapa besar ya kita kita punya potensi yang yang besar yang beragam dan juga tersebar jadi kalau kita misalkan menghitungnya untuk Singapura,” ungkap Dadan disela Webinar bertajuk “Mempercepat Penurunan Emisi, Meraih Devisa”, Senin (17/10).

Skema yang bisa dilakukan ketika ekspor listrik ke Singapura tidak jauh berbeda dengan ekspor gas ke sana yang saat ini tengah berlangsung. Nantinya Pulau Batam bisa dijadikan sebagai hub atau pintu utama ekspor listrik ke sana yang disalurkan melalui kabel bawah laut.

Namun demikian ekspor memang belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kebutuhan listrik dari EBT dalam negeri terlebih dulu harus dipenuhi. Selain itu pihak Singapura juga tidak akan terburu-buru memutuskan melakukan impor listrik dari Indonesia.

“Secara regulasi bahwa ekspor itu memang diperbolehkan, jadi ekspor itu boleh secara regulasi turunan dari Undang-Undang Ketenagalistrikan. Tetapi ada syaratnya, di dalam negeri ini harus dipenuhi dulu, jadi kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya harus terpenuhi. Jadi pikirannya ini kan bukan pikiran untuk dilakukan tahun depan. Saya yakin Singapura juga tidak berpikir untuk tahun depan ini seperti apa itu. Tapi ini proses proses jangka panjang,” jelas Dadan.

Sementara itu, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), menyatakan ekspor listrik tentu menjadi salah satu instrumen untuk menggenjot pengembangan EBT di tanah air. Teorinya dengan adanya demand atau permintaan maka para pelaku usaha memiliki kepastian siapa yang akan membeli listrik.

“Maka dengan mengekspor itu sebenarnya bisa menjadi salah satu solusi, karena kita butuh invest, kita butuh investasi, kita butuh juga pengembangan industri energi terbarukan di dalam negeri,” ungkap Fabby. (RI)