JAKARTA – Pemerintah mengaku tidak akan kaku dan terbuka untuk mengevaluasi kebijakan ekspor batu bara seiring kenaikan harga batu bara pada awal 2021 ini.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan jika tren harga batu bara terus naik maka tidak tertutup kemungkinan kuota produksi dan ekspor akan ditambah.

“Kalau tren harga bagus, ya kami evaluasi lagi untuk kebijakan ekspor,” kata Arifin di Kementerian ESDM, Kamis (7/1).

Untuk tahun ini pemerintah mematok target produksi batu bara sebesar 550 juta ton atau sama seperti target tahun lalu. Hanya saja tahun lalu realisasi produksi tipis diatas target yakni 558 juta ton. Untuk target Domestic Market Obligation (DMO) atau serapan dalam negeri tahun ini ditargetkan sebesar 137,5 juta ton. Sementara tahun lalu realisasi DMO batu bara mencapai 132 juta ton.

Pemerintah kata Arifin tetap akan memprioritaskan kebutuhan batu bara dalam negeri.

“Kemudian kalau liat dari proposisinya DMO masih lebih kecil dari target. Listrik juga kan di sektor energi, sektor industri juga ada kelemahan. Nah, kami prioritaskan kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dulu,” ungkap Arifin.

Harga batu bara acuan (HBA) Januari 2021 melonjak US$16,19 per ton menjadi US$75,84 per ton atau naik 27,14% dibanding HBA pada Desember 2020 sebesar US$59,65 per ton. Faktor utama kenaikan batu bara secara siginifkan  lantaran kembali beraktifitasnya industri di China.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan  negeri Tirai Bambu  memiliki peran penting dalam memengaruhi harga batu bara karena menjadi pasar utama batu bara Indonesia setelah India. “Apalagi saat ini terjadi ketegangan hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan Australia. Sentimen ini yang makin memperkuat,” ungkap Agung.

Faktor turunan supply dipengaruhi season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Untuk faktor turunan demand dipengaruhi kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.(RI)