JAKARTA – Dalam rangka meningkatkan iklim investasi panas bumi di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun skema insentif berupa biaya penggantian (reimbursement cost) untuk aktivitas eksplorasi dan insentif pengembangan infrastruktur panas bumi lainnya.

“Kompensasi untuk pengembang yang sudah eksplorasi, tapi belum ada PPA (Power Purchase Agreement/Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) dengan PT PLN (Persero), dan bagi yang BPP wilayahnya lebih besar dari tarif di Perpres maka akan kami bayarkan gap antara BPP tersebut dengan tarif dari Perpres,” ungkap Ida Nuryatin Finahari, Direktur Panas Bumi Direktorat Jendral Energie Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Selasa (11/8).

FX Sujiastoto, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan pengembangan listrik panas bumi memiliki karakter risiko dan biaya investasi yang tinggi. Pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) lebih terjangkau.
Selama ini yang menjadi salah satu kendala pengembangan sektor panas bumi adalah harga jual listrik yang belum ekonomis. Dengan pemberian insentif dan kompensasi harga EBT di masyarakat itu terjangkau, dan keekonomian bagi pengembang masih tercapai.

Menurut Sutijastoto, jika aturan tersebut diimplementasikan dengan baik, maka biaya produksi listrik yang dihasilkan dapat ditekan dan menambah gairah iklim investasi. Hal ini, juga akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

“Jika diterapkan ini bisa terjangkau bagi masyarakat dan risiko (investasi) panas bumi bisa murah dan (pengembang) bisa akses dana yang lebih murah,” kata dia.

Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi diimplementasikan, maka akan ada penurunan harga panas bumi sekitar USD2,5 hingga US$4 sen per kilo Watt hour (kWh).

Aturan tersebut akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik EBT oleh PLN. Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.

Sutijiastoto menambahkan, usulan insentif untuk pengembangan listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dana insentif biaya eksplorasi akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pemerintah terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung. Hal ini menyusul potensi llistrik EBT yang besar sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4% atau 10,4 GW.

Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 Giga Watt (GW) dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17% atau 6.494 Giga Watt hour (GWh).(RA)