JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas ( SKK Migas) memproyeksikan produksi Blok Rokan akan menurun 23% hingga berakhirnya kontrak pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia pada 2021. Saat ini rata-rata produksi Blok Rokan sekitar 210 ribu barel per hari (bph).

Avicenia Darwis, Vice President Operasi SKK Migas, mengatakan penurunan terjadi akibat kondisi alami sumur-sumur produksi di Blok Rokan.

“Rokan bagus 210 ribu bph, pada 2021 dikelola Pertamina kita lihat decline produksi secara alamiah diperkirakan jadi 160 ribuan bph,” ungkap Avicenia di Medan, Jumat (7/12).

Menurut dia, ada salah satu strategi yang sudah disiapkan dan akan dibahas SKK Migas dengan PT Pertamina (Persero). Setelah nanti resmi menjadi pengelola blok Rokan Pertamina bisa melakukan klastering atau mengelompokkan potensi-potensi yang tersebar di Blok Rokan.

“Tantangan untuk blok Rokan bagaimana bisa klastering prospek-prospek kecil. Kalau single dikembangkan tidak ekonomis, tapi kalau dikembangkan jadi klaster mungkin masih ada. Remaining potential masih ada,” ungkap Avicenia.

Blok Rokan merupakan salah satu blok minyak dengan produksi terbesar di Indonesia. Pertamina sudah ditetapkan pemerintah untuk mengelola blok Rokan pasca kontraknya berakhir nanti di tahun 2021. Jika telah resmi mengelola Pertamina akan berkontribusi terhadap produksi migas nasional sebesar 60%.

Metode klastering sendiri sudah sebagian kecil dikerjakan di Blok Rokan, akan tetapi tidak secara maksimal dilakukan.

Menurut Avicenia, Chevron memiliki pertimbangan sendiri dalam membiayai kegiatan operasi yang tersebar di berbagai wilayah.

“Mereka punya keekonomian target beda. Belum tentu standarnya sama. Karena dia rangking lagi secara worldwide. Apakah menjadi prioritas untuk dieksekusi,” kata dia.

Lebih lanjut Avicenia berharap proses transisi Blok Rokan bisa dilakukan sebelum mendekati kontrak berakhir. Belajar dari transisi Blok Mahakam yang membutuhkan waktu cukup panjang, maka transisi di Rokan yang produksinya lebih besar juga harus dilakukan dengan hati-hati.

“Itu harapan kami ke Pertamina (melakukan klastering). Kita bermain di ruang-ruang bagaimana kelola prospek. Banyak kok tapi kecil-kecil,” tegas Avicenia.

Sampai saat ini Pertamina belum juga membayar signature bonus US$785 juta dan komitmen kerja pasti (KKP) sebesar US$ 500 juta kepada pemerintah. Padahal keduanya merupakan syarat wajib bagi Pertamina sebelum menandatangani kontrak. Kontrak sendiri harus ada sebagai pintu masuk bagi Pertamina agar bisa berinvestasi lebih awal di Rokan guna menjamin adanya kegiatan pengeboran ataupun berbagai upaya lainnya untuk bisa mempertahankan produksinya.(RI)