JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR Tahun 2020 bersama dengan RUU Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Diharapkan dengan terbitnya UU EBT maka target 23% dalam bauran energi, dan juga target 29% penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bagian dari komitmen global Indonesia dapat tercapai.

“Kelihatannya Komisi VII DPR sepakat meloloskan RUU EBT  menjadi salah satu prioritas, diantara berbagai RUU lain yang juga menarik dan dibutuhkan, seperti RUU Migas. Hal ini menunjukkan kesungguhan pemerintah dan DPR untuk memperjuangkan pemanfaatan energi terbarukan,” ungkap Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi Rabu(12/2)

Surya mengatakan Komisi VII sudah menyiapkan Panitia Kerja (Panja). Setelah Panja terbentuk, maka METI dan Panja akan berdiskusi untuk memberikan pemahaman terkait energi terbarukan.

“Anggota-anggota sudah dipilih, namun belum memilih Ketua Panja. Diharapkan dalam 2 – 3 hari ini Panja RUU EBT sudah terbentuk,” kata dia.

Potensi EBT Indonesia lebih dari 400 Gigawatt (GW), namun pemanfaatannya masih 2,5%. Pemerintah menargetkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT hingga 2025 sebesar 17,4 GW dengan investasi sekitar US$ 41,2 miliar. Nilai investasi tersebut terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar US$17,45 miliar, PLTA atau Mikrohidro senilai US$14,58 miliar, PLTS dan PLTB senilai US$1,69 miliar, PLT Sampah senilai US$1,6 miliar, PLT Bioenergi senilai US$1,37 miliar dan PLT Hybird sebesar US$0,26 miliar.

“Perlu disampaikan bahwa banyak anggota Komisi VII merupakan anggota baru. Pada saat diskusi, akan disusun agenda pembahasan RUU EBT bersama dengan stakeholder,” tandas Surya.(RA)